Pembangunan Aceh Harus Berbasis Pengurangan Risiko Bencana

waktu baca 6 menit
Teuku Muhammad Zulfikar

Oleh: Teuku Muhammad Zulfikar*)

(Renungan Jelang Musyawarah Forum PRB Aceh 2022)

“PEMBANGUNAN Aceh mulai saat ini dan masa akan datang haruslah berbasis pada upaya pengurangan risiko bencana. Secara mendasar yang dilakukan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota perlu menggambarkan rencana pembangunan yang mengintegrasikan pengurangan atau pengelolaan risiko bencana.”

Penilaian saya, Aceh saat ini terlihat belum ada perubahan kebijakan rencana pembangunan secara mendasar atau rencana pembangunan berbasis pengurangan risiko bencana yang dilakukan baik oleh Pemerintah Provinsi maupun kabupaten/kota, terutama yang daerahnya terdampak bencana.

Hal itu terlihat dari berbagai rencana pembangunan yang sepertinya belum menggambarkan secara jelas bagaimana kondisi wilayah Aceh yang rawan atau rentan bencana menjadi salah satu aspek utama dalam penyusunan berbagai kebijakan atau regulasi menyangkut rencana pembangunan, misalnya dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) maupun berbagai rencana pembangunan Aceh lainnya.

banner 72x960

Peristiwa bencana gempa bumi dan gelombang tsunami  26 Desember 2004 dan berbagai kejadian bencana lainnya seperti banjir, banjir bandang, dan tanah longsor yang kerap terjadi di setiap daerah di Aceh, secara jelas menunjukkan tingkat risiko bencana di Aceh sangat tinggi.

Seharusnya, peristiwa itu ditanggapi dengan cara-cara istimewa. Seperti perubahan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) menjadi lebih peka risiko. Perencanaan pembangunan dalam musrenbang juga seharusnya dirancang memprioritaskan kegiatan mengurangi risiko.

Dalam qanun terkait Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA) yang sedang direvisi sangat diharapkan bisa mengakomodir hal ini sehingga kejadian bencana dan dampaknya bisa dikurangi.

Saat ini masih banyak terjadi berbagai kegiatan yang berpotensi meningkatkan risiko bencana, seperti penambangan pasir dan batu atau galian C secara ilegal, penambangan emas tanpa izin di beberapa wilayah, penambangan dengan cara memotong gunung yang berpotensi terjadi longsor akibat ketidakstabilan lereng, alih fungsi lahan hutan menjadi perkebunan dan kegunaan lain yang mengabaikan dokumen rencana tata ruang sehingga terkesan bahwa regulasi yang ada hanya sekadar dokumen ompong belaka.

Secara kasat mata kebijakan pembangunan di Aceh khususnya dari sub-sektor pertambangan dan perkebunan skala besar menggambarkan bahwa belum berpihak sepenuhnya pada kemaslahatan dan keselamatan rakyat.

Dalam UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana disebutkasn bahwa pengurangan risiko bencana adalah konsep dan praktik mengurangi risiko bencana melalui upaya sistematis untuk menganalisa dan mengurangi faktor-faktor penyebab bencana.

Beberapa contoh upaya yang dilakukan mencakup upaya mengurangi paparan terhadap bahaya, mengurangi kerentanan manusia dan properti, manajemen terhadap pengelolaan lahan dan lingkungan, meningkatkan kesiapan terhadap dampak bencana, dan lainnya.

Pengurangan risiko bencana meliputi manajemen bencana, mitigasi bencana dan kesiapsiagaan bencana. Tak hanya itu, pengurangan risiko bencana juga merupakan bagian dari pembangunan berkelanjutan.

Upaya pengurangan risiko bencana sangat penting untuk dilakukan. Bahkan, perlu untuk diupayakan pengarusutamaannya dalam setiap aspek kehidupan. Peristiwa bencana tidak dapat dihindari, namun upaya pengurangan risikonya sangat penting untuk dioptimalkan sehingga pada saat terjadi bencana, masyarakat dapat segera melenting balik dan pulih dengan cepat.

Penyelenggaraan penanggulangan bencana disebutkan bahwa pengurangan risiko dilakukan untuk mengurangi dampak buruk yang mungkin timbul, terutama dilakukan dalam situasi sedang tidak terjadi bencana, yang mencakup kegiatan:

  • pengenalan dan pemantauan risiko bencana
  • perencanaan partisipatif penanggulangan bencana
  • pengembangan budaya sadar bencana
  • peningkatan komitmen terhadap pelaku penanggulangan bencana
  • penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana

Upaya menyelenggarakan pengurangan risiko bencana tidaklah mudah. Perlu kerja sama dari seluruh pihak agar upaya ini dapat berjalan dan terselenggara dengan baik. Hal ini dikarenakan bencana merupakan urusan bersama. Upaya pengurangan risiko bencana dapat dilakukan dengan menyiapkan instrumen manajemen kebencanaan dengan baik.

Manajemen penanggulangan bencana sendiri dapat didefinisikan sebagai segala upaya atau kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka upaya pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan berkaitan dengan bencana yang dilakukan pada tahapan sebelum, saat, dan setelah bencana.

Manajemen penanggulangan bencana merupakan suatu proses yang dinamis yang dikembangkan dari fungsi manajemen klasik yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pembagian tugas, pengendalian dan pengawasan dalam penanggulangan bencana.

Proses tersebut juga melibatkan berbagai macam organisasi yang harus bekerjasama untuk melakukan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan akibat bencana.

Dari keseluruhan kegiatan manajemen kebencanaan, poin terpenting yang perlu untuk dipersiapkan berada pada fase prabencana. Pada fase ini, sangat penting untuk dapat meningkatkan upaya pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, serta penguatan sistem peringatan dini.

Hal ini juga sesuai dengan poin yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di mana dalam situasi tidak terjadi bencana, lingkup kegiatan yang dapat dilakukan adalah mencakup perencanaan penanggulangan bencana, pengurangan risiko bencana, pencegahan, pemaduan dalam perencanaan pembangunan, persyaratan analisis risiko bencana, pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang, pendidikan dan pelatihan, dan persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.

Secara umum, upaya pengurangan risiko bencana dapat dilaksanakan melalui beberapa langkah berikut:

  • Pengaturan pemanfaatan ruang secara spasial. Perencanaan tata ruang berperan penting dalam membantu mewujudkan produk tata ruang yang baik dan berkualitas, termasuk di dalamnya mencakup aspek kebencanaan. Pengaturan pemanfaatan ruang dapat dimulai dengan pemetaan daerah rawan bencana, kemudian mengalokasikan pemanfaatan ruang untuk pembangunan berintensitas tinggi ke luar area rawan bencana. Sedangkan perencanaan pemanfaatan ruang di daerah rawan bencana perlu diatur secara tepat dan optimal untuk mengurangi potensi hingga dampak negatif yang dapat muncul.
  • Pengoptimalan rekayasa teknis bangunan. Umumnya berupa rekayasa teknis terhadap bangunan, lahan, ataupun infastruktur yang disesuaikan dengan kondisi, keterbatasan dan ancaman bencana. Misalnya konstruksi bangunan rumah tahan gempa.
  • Peningkatan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. Permasalahan akibat bencana cukup rumit, bahkan seringkali menimpa kawasan dengan kondisi masyarakat yang cukup rentan seperti kemiskinan, kurangnya kewaspadaan, ketidakberdayaan, sulitnya aksesibilitas, dan sebagainya. Peningkatan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat untuk mengurangi tingkat kerentanan dan keterisolasian menjadi penting untuk dilakukan. Untuk mewujudkannya, diperlukan elemen-elemen penting seperti adanya tokoh penggerak masyarakat; tersedianya konsep penanggulangan dan penanganan bencana alam yang jelas; adanya objek aktivitas masyarakat yang jelas; kuatnya kohesivitas masyarakat setempat, bahasa komunikasi kerakyatan yang tepat berbasis pada kearifan budaya lokal; serta jaringan informasi yang mudah diakses.
  • Terkait dengan kelembagaan, ada beberapa hal yang harus dipenuhi, yaitu struktur organisasi dan tata cara kerja yang jelas; fungsi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan yang aplikatif; serta tercukupinya ketersediaan sumberdaya manusia, pembiayaan, dan perlengkapan.
  • Pengkajian potensi dan risiko bencana. Upaya ini merupakan sebuah pendekatan untuk memperlihatkan potensi negatif yang mungkin timbul akibat suatu bencana yang melanda. Hal ini perlu dilakukan secara sistematis dan akademis, sehingga hasil kajian tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Hasil kajian akan menjadi acuan dan berperan penting dalam menentukan kebijakan dasar dalam upaya pengurangan risiko di suatu wilayah yang sistematis dan terencana. Pengkajian ini tercakup di dalam Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) yang terdapat baik dalam lingkup nasional, provinsi ataupun lingkup kabupaten/kota.[]

*) Penulis adalah Koordinator YEL Aceh/Dosen Teknik Lingkungan Universitas Serambi Mekkah (USM)/Pengurus Forum PRB Aceh 2017-2022 dan Kandidat Doktor Sosial Lingkungan Universitas Syiah Kuala (USK).

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *