Hebatnya Warung di Aceh
Oleh: Risman Rachman*)
DI Aceh, warung tidak hanya sekadar tempat menikmati secangkir kopi, atau minuman/makanan lainnya. Warung juga sebagai media sosial, baik sebatas silaturahmi maupun pertukaran informasi.
Informasi yang ada bahkan diperbincangkan dengan ringan, jenaka, hingga serius. Beragam topik bisa diperoleh, hingga tegukan kopi terakhir.
Warung di Aceh juga berfungsi sebagai “tempat singgah” bagi siapapun, mereka yang hendak berkerja, yang sedang istirahat berkerja, hingga mereka yang sedang tidak berkerja.
Siapapun bisa bersua di warung. Tidak ada kasta kekuasaan, apalagi kasta sosial dan lingkungan. Semua bisa bertemu di satu meja. Mereka yang hobi bicara, hingga yang sekadar suka menyimak saja, dapat bertemu di warung kopi di Aceh.
Di warung, beragam acara atau kegiatan juga dilangsungkan. Bahkan, jika ada pejabat atau tokoh dari ibu kota datang, warung juga tempat singgahan, minimal sebelum bertolak kembali pulang.
Di warung, topik-topik hangat paling mudah diperoleh, bahkan lobi-lobi pekerjaan hingga lobi jabatan juga ada yang dilakukan di warung kopi di Aceh.
Sebuah rencana ringan kadang tercetus di warung. Bahkan doeloe, rencana perlawanan, menurut pengakuan, juga kerap disusun di warung. Dan, sekarang tidak tertutup kemungkinan rencana-rencana politik, atau rencana pemanfaatan anggaran dibuat sambil menikmati minuman atau makanan yang ada di warung.
Di warung Aceh yang tidak berbatas waktu duduknya, pekerjaan-pekerjaan dilakukan. Orang-orang seperti terlihat menganggur karena terus duduk di warung. Tapi, melalui hape, laptop, beragam pekerjaan sedang dilakukan, bahkan bisa jadi sedang melakukan ragam transaksi.
Warung di Aceh juga menjadi indikator untuk melihat iklim demokrasi di Aceh, dan menjelaskan betapa uniknya cita rasa demokrasi di Aceh, sama seperti cita rasa kopi, meski berbeda antara kopi robusta dengan kopi arabika, keduanya punya kesamaan, dalam mendidihnya air, wangi menebar.
Cita rasa demokrasi di Aceh juga memperlihatkan beragam perbedaan, ada yang keras, ada yang moderat, ada yang tidak jelas, namun semuanya dapat bertemu di meja kopi dan menebar wewangian penghormatan atas perbedaan. Keras terkadang, tapi semakin ke sini semakin matang, karena kebebasan tidak lagi disertai dengan aksi kekerasan.
Kematangan demokrasi ala warung kopi di Aceh mengalahkan iklim demokrasi di nasional, yang makin akrab dengan kekerasan, bullyan, tangkap-menangkap, “telanjang-menelanjangi” hingga membentuk friksi sosial-politik yang terus membelah.
Tidak berlebihan ini semua kita sebut dengan kupitalisme. Suatu citarasa hidup yang walau semendidih apapun kehidupan akan menghadirkan wewangian yang khas Aceh. []
*) Penulis Adalah Penikmat Kopi Ulee Kareng