Para Antropolog Bahas Masa Depan Aceh

Theacehpost.com | LAMBARO – Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI) Pengda Aceh menggelar Diskusi Budaya bertajuk “Antropologi Untuk Menatap Masa Depan Aceh”.

banner 72x960

Kegiatan itu berlangsung pada Jumat, 15 April 2022, di salah satu kafe di kawasan Lambaro, Aceh Besar dengan menghadirkan narasumber Guru Besar Antropologi Universistas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Prof Dr Irwan Abdullah.

Ketua AAI Pengda Aceh, Dr Bustami Abubakar MHum, mengatakan tujuan diskusi ini untuk memikirkan dan mendiskusikan dinamika pembangunan kebudayaan Aceh masa kini, sekaligus sebagai upaya memetakan strategi pembangunan kebudayaan Aceh di masa mendatang.

“Kami menggelar diskusi terbatas dengan mengundang para intelektual muda yang terhimpun dalam wadah AAI dan lembaga profesi lainnya,” sebutnya.

Prof Irwan menuturkan, Aceh adalah satu pilot studi yang sangat penting untuk diperbincangkan.

Menurutnya, Aceh merupakan satu wilayah yang ditinjau dari segi sejarah dan kultural merupakan wilayah yang tidak pernah selesai dengan berbagai isu yang menerpanya.

“Karena itu, satu konsen saya yang tidak pernah berakhir tentang Aceh ini adalah bagaimana mendudukkan Aceh dalam konstalasi global sehingga Aceh menjadi satu kekuatan global yang diperhitungkan,” sebutnya.

Prof Irwan menilai,  hal itu bukanlah sebuah utopia atau sesuatu keinginan yang muluk. Sejarah Aceh telah membuktikan bahwa Aceh pernah menjadi pengekspor ragam komoditas ke berbagai negara di dunia.

“Namun sekarang, Aceh mengekspor apa?,” tanya lelaki kelahiran Lhokseumawe ini.

Dalam konteks pembangunan masa kini, ia membandingkan Aceh dengan Sumatera Selatan (Sumsel).

Menurutnya, penduduk Sumsel jauh lebih besar bahkan hampir dua kali lipat penduduk Aceh, namun anggaran pembangunan Aceh justru hampir dua kali lipat lebih banyak dibandingkan Sumsel.

“Tapi, faktanya Sumsel lebih hidup dan berkembang, terutama jika ditinjau dari aspek ekonomi dan perkembangan global,” ucapnya.

Sesungguhnya, lanjut dia, Aceh memiliki civil society yang sangat kuat tetapi kekuatan ini tidak bisa diaktivasi menjadi kekuatan aktual yang bisa membawa Aceh ke dalam satu tingkat peradaban yang maju,” katanya lagi.

“Hal ini dipicu oleh tiga faktor, pertama, sentimen primordialisme (primordialism sentiment). Kedua, ketertutupan intelektual (intellectual barriers) dan ketiga, semangat perlawanan (spirit of resistance) yang masih tinggi,” pungkasnya. []

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *