Wartawan, Demokrasi dan Jurnalisme Aceh
Oleh: Risman Rachman *)
AJAKAN Gubernur Aceh Nova Iriansyah kepada wartawan untuk bersinergi dalam membangun Aceh patut untuk dielaborasi lebih dalam, siapa tahu dapat memantik insan wartawan di Aceh untuk menghadirkan “mazhab jurnalisme” ala Aceh dan mengumumkannya dalam perhelatan Hari Pers Nasional (HPN), jika berhasil diselenggarakan di Aceh.
Menurut Gubernur Aceh, sinergi yang dimaksudkan bukanlah puja puji, bukan juga murka, juga bukan caci maki, termasuk bukan pula bully (baca: perudungan).
“Sinergi yang kita harapkan tentu saja kritik yang membangun, mengingatkan sebelum melenceng, mengingatkan sebelum salah, serta bertujuan sebagai pemantik kreativitas,” tegas Gubernur Aceh saat menerima kunjungan silaturrahmi dari pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh, di ruang Tengah Meuligoe Gubernur Aceh, Jumat 28 Januari 2022.
Ajakan itu terkesan biasa-biasa saja. Namun, jika bersedia dielaborasi lebih dalam pasti memantik renungan pada standar kelayakan kerja publikasi media yang ada di Aceh selama ini. Apakah seluruh hasil publikasi melalui media yang ada selama ini, setidaknya sudah terbebas dari puja puji, murka, caci maki dan bully?
Pertanyaan reflektif itu sudah sepatutnya untuk diikuti kesediaan memeriksa standar kelayakan publikasi yang mensyaratkan kelayakan peristiwa, kelayakan narasumber dan kelayakan nilai berita, tentu saja alat ukurnya adalah hukum positif (UU Pers, UU ITE dan UU lain), serta etika berkarya jurnalistik (Kode Etik Jurnalistik) plus estetika.
Tidak hanya itu, kelayakan publikasi, juga patut mensertakan pertimbangan bobot nilai berita dan kandungan akurasi fakta. Lebih utama lagi, menyadari bahwa kemerdekaan pers bukanlah kebebasan yang mengabaikan tanggung jawab, karena itu wartawan wajib memegang teguh Kode Etik Jurnalistik, apalagi jika pewartaan terkait SARA.
Itulah elaborasi yang sifatnya ke dalam (diri wartawan) sehingga tidak sekedar memenuhi syarat formal saja dalam menjalankan kerja-kerja jurnalisme. Syarat formal itu seperti kartu tanda, sertifikasi, berbadan hukum dan lainnya. Syarat ini tentu perlu karena bahagian dari alat uji, namun jati diri wartawan sepenuhnya diuji dari proses kerja yang dijalankan dan hasil produk yang dihadirkan.
Elaborasi ke dalam itu, sangat mungkin untuk menghadirkan pula “mazhab” jurnalisme ala Aceh. Mengapa ini penting? Jawaban singkatnya karena secara nasional, produk publikasi dari hasil kerja wartawan dan media, justru memperlihatkan sumbangannya dalam memperbesar kegaduhan, bahkan konflik SARA.
Apa yang patut dijadikan sandaran utama dalam Jurnalisme Aceh? Jawabannya, menjadikan lima tujuan yang ada pada maqashid syariah sebagai prinsip utama Jurnalisme Aceh, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Prinsip memelihara agama bermakna kerja jurnalisme di Aceh tidak boleh melanggar kaedah-kaedah yang sudah ditentukan oleh Islam, baik itu terkait uji peristiwa, uji narasumber maupun uji nilai berita.
Prinsip memelihara jiwa bermakna kerja jurnalisme menghindari pewartaan yang dapat merusak jiwa pembaca, memancing pembaca untuk berkonflik, termakan fitnah dan berghibah.
Prinsip memelihara akal bermakna kerja jurnalistik hendaknya dapat menjadi sumber inspirasi dan kreatifitas semua pihak untuk dapat mengembangkan hidupnya lebih baik lagi dan membantu semua pihak yang diberi amanah untuk tercegah dari berbagai kemungkinan melakukan kesalahan (kritik membangun).
Prinsip memelihara keturunan bermakna kerja jurnalistik mestilah menyediakan informasi yang akurat, kredibel dan edukatif yang dapat dijadikan referensi bagi tumbuhnya generasi yang sehat dan cerdas.
Prinsip menjaga harta bermakna kerja jurnalisme sepatutnya mengcegah diri dan perusahaan media untuk melakukan tindakan transaksional yang tidak terpuji.
Misalnya, membangun pewartaan yang dimaksudkan untuk memberi tekanan sampai pihak lain bersedia menjalin kerja sama. Mengancam akan mewartakan jika tidak diberi imbalan dan lainnya.
Tentu saja, apa yang sudah terumus dalam Kode Erik Jurnalistik sudah pula mengandung prinsip-prinsip jurnalistik yang digariskan dalam perspektif Islam. Namun, akan menjadi satu genre tersendiri bagi Aceh jika dapat mewujudkan “mazhab” jurnalisme Aceh sebagai bahagian kekhususan dari jurnalisme Islami. []
*) Penulis adalah pemerhati pemerintahan