Antikorupsi
Oleh: Sulaiman Tripa
SEPERTINYA sedang ngetren, banyak tempat sedang menempelkan kawasan bebas korupsi. Kawasan yang berintegritas. Kawasan antipungli. Semua diuji dan menawarkan hidup bersih. Hal ini sebagai sesuatu yang bagus. Ada banyak kantor, sepertinya sedang meneguhkan diri sebagai kawasan tanpa korupsi ini. Begitu masuk kantor-kantor pelayanan publik, kata-kata mencolok yang menggambarkan kebencian terhadap korupsi, langsung terlihat.
Perlu ajakan untuk melihat lebih dalam. Kantor-kantor yang sudah berkomitmen demikian, harus melihat kembali ke dalam, apakah benar-benar sudah bisa bersih. Supaya tidak menjadi kamuflase. Seolah sudah bersih, ternyata belum. Jangan sampai berkampanye hidup bersih, tapi suka main belakang.
Saya memahami bahwa antikorupsi itu soal hati. Soal mentalitas. Bukan soal pernyataan saja. Kata orang Melayu, cakap harus serupa bikin. Pernyataan belum tentu selaras dengan perbuatan. Orang-orang yang sudah ditangkap karena dugaan korupsi, selalu membantah. Namun di pengadilan, sering terlihat sebaliknya. Terlepas bisa jadi ada kasus politik tertentu, semisal jebakan, dan semacamnya.
Orang yang ingin hidup bersih, tidak bisa diverifikasi pada apa yang terucap semata. Kolega saya, selalu ngomong ingin hidup bersih, namun kemana-mana minta difasilitasi. Orang-orang yang memiliki hubungan, dihubungi, agar bisa difasilitasi.
Sebenarnya kalau kembali ke konsep, korupsi terkait dengan bagaimana seseorang melakukan penyelewengan atau penyalahgunaan. Tujuannya bisa untuk memperkaya diri atau orang lain. Bisa saja seseorang tidak melakukan untuk diri dan keluarganya, tetapi memberi keuntungan pada orang lain. Caranya berbagai macam.
Undang-undang Antikorupsi mengaitkan korupsi dengan perbuatan melawan hukum. Saya selalu melihat dalam konteks mentalitas, karena seseorang melakukan sesuatu tidak selalu karena lapar, tetapi karena faktor yang lain.
Saya melihat satu video sederhana, saat seseorang menempel lembaran uang di bajunya. Ia melihat silakan ambil bagi yang butuh. Pahitnya, ternyata yang menjamah itu lebih banyak orang yang berjas, tinimbang mereka yang butuh makan. Orang-orang lapar, kadang-kadang lebih sering mempertanyakan sumber dari apa yang mereka dapat, ketimbang kita yang hidup mapan.
Sekali lagi, saya memandang soal ini sebagai mentalitas. Makanya korupsi bukan sesuatu yang baru. Mafia kasus masih ada, padahal kawasan berintegritas sudah terbangun. Kawasan antipungli, saat masih ada oknum-oknum masih menengadah tangan. Yakinlah, ini soal mentalitas.
Kita harus berusaha keras untuk bisa mencapai derajat hidup bersih. Derajat pada posisi akan merasa hina ketika ada orang yang mengantar sesajen kepada kita. Hanya karena membantu melayani sesuatu, mengurus sesuatu, bahkan di kalangan para pendidik, mengajarkan sesuatu kepada anak didik yang barter dengan sesuatu.
Berhentilah menerima apa pun yang berdasarkan pada sesuatu yang sudah ada bayarannya. Sudah dibayar untuk melakukan itu, maka jangan terima yang lain. Kekuatan untuk mengatakan tidak untuk hal semacam ini, yang saya sebut sebagai mentalitas. Itulah antikorupsi. []