Parkir
Oleh: Sulaiman Tripa
BEGITU keluar dari masjid dekat lingkungan kampus, saat shalat zuhur kemarin, saya mengurut dada. Pasalnya ada satu mobil mewah, jenis Fortuner, memarkir persis di jalan keluar masuk parkir motor. Padahal di sebelah kiri mobil itu, masih ada ruang yang tersisa. Sedangkan di sisi kanan, bersisian dengan menara masjid. Agak sulit dilalui pengendara motor yang memarkir di samping belakang (sebelah barat masjid).
Jika Anda pernah shalat di masjid putih ujung jembatan Lamnyong, Anda pasti memahami lokasi parkir yang luas dan nyaman. Panitia sudah menyiapkan lokasi sedemikian rupa. Tempat parkir mobil dan motor sudah tersedia dan seharusnya pemilik kendaraanlah yang mengatur sedemikian rupa ketertibannya. Dengan lokasi yang luas, seharusnya parkir bukan masalah di halaman masjid ini.
Sepertinya memang kembali kepada masing-masing pemiliknya. Manusia. Membutuhkan mental yang baik, bahkan untuk memahami hal yang sederhana sekali pun. Kita seharusnya selalu berpikir kepentingan kita yang berhadapan dengan kepentingan orang lain. Tidak boleh egois dan tidak mau ketika berhadapan dengan hal-hal semacam ini.
Kendaraan kita itu hanya mesin. Kitalah pemiliknya. Maka bukan kendaraan yang harus disalahkan. Jika ada sesuatu, pemiliklah yang harus tahu diri. Andai pun manusia yang berilmu tinggi, mampu menciptakan mesin yang bisa dan mampu diperintah, tetap ada batasnya. Tidak mungkin mesin kemudian berpikir dan menganalisis apa yang diperintahkan oleh manusia. Pengendalinya tetap manusia. Tidak mungkin mesin itu dilepaskan begitu saja. Ia tidak mampu menuntun perilaku dirinya sendiri.
Atas dasar itulah, saat melihat kendaraan bertapak di tempat yang tersedia dengan baik, tentu ada dan itu menjadi cermin dari yang mengendalikannya. Maka pengendali inilah yang seharusnya mengoreksi diri.
Ketika keluar dari masjid, melihat bagaimana mobil di parkir, sambil berpikir bagaimana bisa keluar tanpa menyentuh mobil mewah itu, bisa saja terpikir macam-macam. Apalagi saat melihat pemiliknya yang berbaju alat negara dan bukan berpangkat rendah. Dengan harga mobil yang mahal, sudah pada tempatnya menjadi contoh bagi pemilik mobil yang lain. Idealnya begitu.
Entahlah. Barangkali kita menganggap parkir semacam ini urusan yang sepele. Malu kita keluar dari tempat kita bersujud. Memarkirkan kendaraan selalu bisa memahami keadaan, bahwa perilaku kita itu akan merugikan orang lain atau tidak. Yang agak mengecewakan, karena perilaku itu dilakukan oleh orang yang seharusnya sudah menjaga ibadahnya.
Kolom ini seyogianya juga menjadi cemeti bagi saya pribadi untuk selalu menjaga kepentingan orang lain. Apa yang kita alami dan lakukan, tidak boleh lupa bahwa selalu ada kepentingan orang lain di sekitar kita. Ketika kita melupakan itu, maka secara tidak sadar, kita seolah ingin hidup yang terasing. Walau sedang berada di tengah keramaian. []