Teman Lama
TIBA-tiba saja saya bertemu dengan seorang teman. Katakanlah, seperti teman lama. Pertemanan yang sudah sejak dulu. Saat masih kuliah. Seyogianya, teman itu memang tidak berbatas waktu. Tidak ada tenggatnya. Mengenal seseorang saat sedang kita menjalani kuliah, idealnya tidak berhenti berteman hanya gara-gara sudah selesai kuliah.
Entah mengapa, titik start pertemanan itu sering menjadi poin inti pembicaraan. Jika Anda mengenal seseorang saat kuliah, tiba-tiba bertemu, maka dominan pembicaraannya soal kuliah dan berbagai dinamika di dalamnya. Sesekali baru menyela ke hal yang lain. Maka tidak mengherankan, jika bertemu teman semasa kuliah, akan ditanyakan bagaimana kabar mahasiswa lain, bahkan dosennya.
Jika Anda memahami ada proses yang lebih historis untuk mengingat persahabatan semacam ini, kita bisa memahami mengapa orang-orang berusaha menghadirkan berbagai momentum pertemuannya. Hal yang tidak selalu dapat dibilang sederhana. Menghadirkan momentum itu terasa sulit. Apalagi dengan profesi yang beragam. Dan tempat tinggal yang saling berjauhan. Tapi lihatlah orang-orang juga berusaha dengan memanfaatkan momentum yang lain. misalnya saat datang momentum yang dominan orang pada saat itu pulang ke kampung halaman. Semacam mudik.
Ada hal yang bisa didalami lebih jauh. Saat sebagian orang yang sudah berusia tua, tiba-tiba merindui untuk saling bertemu. Dengan sesama temannya dalam berbagai tingkat. Ada yang mengingat temannya bahkan dari taman kanak-kanak. Padahal sekarang sudah berusia tua. Tidak sedikit ada yang ingat teman di sekolah dasar. Hingga ke perguruan tinggi.
Pada posisi tertentu, seorang teman tidak hanya saling ingat. Berbagai grup dibentuk. Berbagai even diciptakan agar mereka saling bisa bertemu. Bukankah seharusnya pertemuan dalam wujud lain sudah mudah sekarang? Fasilitas video call atau zoom meeting sudah mendekatkan orang-orang yang jauh. Tapi mengapa pertemuan yang semacam itu masih dirasakan kurang? Barangkali masing-masing orang yang menjawab hal itu.
Ada satu catatan kecil saya. Bagaimanapun keadaan, tapi posisi teman tetap tidak berhenti. Dalam realitas, hanya kepentingan yang bisa memutus berbagai proses di dalamnya. Posisi teman tidak berubah. Seseorang itu tetap sebagai teman. Walau dalam dunia lain, bisa saja akan berubah. Misalnya dalam dunia politik. Katanya, tidak ada teman atau musuh yang abadi. Keduanya, katanya bisa bertukar. Tapi ingatkan ada ungkapan lain, misalnya yang menyebut seribu teman masih sedikit dibandingkan dengan seorang musuh?
Dalam realitas, berbagai hal memungkinkan terjadi. Saat ini kita bisa berubah, tapi suatu saat memungkinkan ia kembali. Boleh jadi saat ini Anda bisa merasakan, melihat seseorang di satu tempat, lalu tiba-tiba ia sudah tidak ada lagi di tempatnya. Orang yang melihat Anda dari jauh, lalu memilih menghindar untuk tidak bertatap muka. Bisa jadi keadaan itu akan berubah. Sebaliknya. Teman yang melihat Anda dari jauh, akan terus mendekat dan menyapa kita dengan seksama. Seyogianya juga sebaliknya. []