Kata dan Tanda
Oleh: Sulaiman Tripa
APAKAH semua hal harus diungkapkan? Pertanyaan ini tiba-tiba muncul di benak saya, saat seorang teman dikeluhkan oleh istrinya terkait waktu shalat bagi mereka yang sedang bekerja di rumah mereka.
Ada sejumlah tukang sedang memperbaiki rumah. Sepertinya tiga orang. Keahlian mereka berbeda. Ada yang jago taman. Seorang di antaranya ahli untuk melihat atap seng yang bocor. Sisanya, mengerjakan pembetulan pagar. Ketiganya dianggap sama pentingnya. Mereka secara periodik meminta bantu pada tukang-tukang yang sudah mereka kenal itu. Ketiganya bukan orang asing bagi mereka.
Persoalan menjadi serius saat istri dari teman saya itu meminta agar kepada para tukang itu diberitahukan saat masuknya waktu shalat. Kita akan berdosa karena mereka. Begitu kira-kira istrinya mengancam suaminya itu. Tetapi suami, yang teman saya itu, balik bertanya. Katanya, apakah dengan letak rumah yang dekat masjid, suara azan menggema begitu terang, lalu masihkan harus disampaikan? Apalagi setiap waktu shalat, teman saya itu selalu berangkat ke masjid yang tidak jauh dari rumah mereka.
Lalu mereka berdebat. Suami istri. Berdebat dengan wajar. Masing-masing memiliki argumen. Terutama istri yang meyakinkan suaminya, bahwa tidak semua orang akan memahami apa yang sedang mereka lihat. Tidak semua orang yang melihat orang shalat, ia akan langsung paham bahwa waktunya sudah tiba. Tidak sedikit orang yang harus diingatkan berkali-kali.
Jika ditelusuri lebih jauh, bisa ada dua level pesan. Pertama, ada orang yang diyakini ia hanya mendengar tanda, tetapi tidak memahami harus melakukannya. Kedua, pesannya sampai kepada mereka, namun mentalitas untuk segera mengerjakannya, tidak dimiliki oleh tipe orang yang kedua ini.
Terkait dengan pilihan inilah, istri teman saya tadi bersikeras agar kepada yang bekerja di rumahnya, tidak cukup hanya dengan memperlihatkan apa yang sedang dikerjakan. Mereka harus diberitahu terang-benderang. Dengan menggunakan kata.
Saya lalu teringat pada masa kecil kami, yang waktu itu almarhum orang tua saya memiliki cara berbeda dalam mendidik anaknya. Kami jarang mendapat perintah secara langsung. Kadang-kadang dengan ditatap, kami sudah mampu menangkap pesan. Jika orang tua tidak senang, ia akan memperlihatkan sikap tertentu yang kami anak-anaknya akan memahami apa yang sedang kami alami.
Ternyata tidak semua mampu menangkap dengan baik pesan-pesan yang ada di sekeliling kita. Sampai di sini, saya teringat pesan dari nilai agama agar orang tidak pernah berhenti untuk belajar. Bahkan Nabi menyebut waktu sejak dari lahir hingga ke liang lahat. Waktu yang seharusnya tidak ada jeda untuk belajar dan saling memahami.
Kemarin saya mendapat ingatan ini kembali ketika teman saya bercerita kisah itu dengan istrinya. Dengan cerita itu, membuat saya merenung. Memang kadang-kadang kita harus menyampaikan dengan kata. Tidak cukup dengan tanda. []