Butir-butir MoU Yang Terbengkalai
Oleh Irwan
Theacehpost.com | Mendekati 15 tahun perdamaian Aceh. Butir-butir MoU dari hasil kesepakatan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Republik Indonesia (RI), hingga saat ini belum terealisasikan dengan sempurna sesuai dengan naskah perjanjian perdamaian pada tahun 2005 silam.
Naskah Perjanjian Damai antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang disebut sebagai MoU Helsinki, ditandatangani di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005. Perundingan damai tersebut dicetus oleh bapak Wakil Presiden Republik Indonesia Muhammad Jusuf Kalla. Wakil Presiden Indonesian mengutuskan Hamid Awaluddin sebagai koordinator perunding mewakili Pemerintah Indonesia. Sementara koordinator perunding dari pihak Gerakan Aceh Merdeka, yaitu Malik Mahmud Al Haytar. Dialog yang dimulai pada awal 2005 itu dimediasi oleh Martti Ahtisaari, mantan Presiden Finlandia. Ia memimpin lembaga Crisis Management Initiative (CMI).
Dalam dialog yang dimulai pada awal 2005 itu yang dimediasi oleh Martti Ahtisaari, mantan Presiden Finlandia. Ia memimpin lembaga Crisis Management Initiative (CMI) yang berperan sebagai menjembatani perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Republik Indonesia (RI). Dari hasil Perjanjian Damai pada tahun 2005 yang mengakhiri konflik antara GAM dengan RI selama hampir 30 tahun lamanya itu, menuai titik temu kesepahaman yang dituangkan atau diturunkan dalam UU No. 11/2006 tentang Pemerintah Aceh. Yang dimana Undang–undang tersebut dibuat untuk Pemerintah Aceh sebagai pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang di sahkan untuk menindak lanjuti hasil dari perjanjian damai antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Namun dari hasil perjanjian tersebut sampai saat ini masih banyak butir-butir yang terbengkalai. Sehingga membuat banyak kalangan masyarakat dan tokoh-tokoh Aceh pada saat ini merasa kecewa atas ketidak realisasinya butir- butir tersebut. Banyak hal yang belum direalisasikan butir-butir MoU, salah satunya adalah permasalahan Simbol Aceh dan Pengelolaan hutan hingga sampai saat ini belum terealisasikan sesuai butir-butir MoU, entah apa yang menjadi permasalahan sampai-sampai butir-butir tersebut belum bisa di realisasikan hingga sekarang.
Pengelolaan Hutan
Baru-baru ini telah mencuat sebuah video anggota DPR RI asal Aceh yang menyuarakan permasalahan pemindahan kantor Balai Besar Taman Nasional Leuser (BBTNGL) dari provinsi Sumatra Utara ke provinsi Aceh, yang dimana kantor tersebut seharusnya di tempatkan di Provinsi Aceh. Sesuai dengan hasil kesepakatan perdamaian antara GAM dan RI yang telah tertuang pada poin 1.3.3 yang berbunyi Aceh berhak mengelola hutan sendiri, dan hasil kesepakatan tersebut telah di jawab oleh pemerintah republik Indonesia dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), dimana pada pasal 150 disebutkan bahwasanya menugaskan pemerintah Aceh untuk melakukan pengelolaan kawasan Ekosistem Leuser di wilayah Aceh dalam bentuk perlindungan, pengamanan, pelestarian, pemulihan fungsi kawasan, dan pemanfaatan secara lestari. Sehingga Aceh berhak mengelola hutan lindung tersebut sesuai dengan apa yang telah berbunyi pada UUPA tersebut.
Namun hingga saat ini pemerintah pusat belum juga merealisasikan poin tersebut dengan alasan sedemikian rupa. Sebagaimana yang diketahui bahwasanya luas Lahan Gunung Louser yang memasuki kawasan Aceh hampir mencapai 80%, sehingga Aceh berhak mengelola hutan tersebut apalagi telah diperkuat oleh UUPA pasal 150, hal ini belum juga direalisasikan hingga sampai sekarang, padahal Aceh mempunyai wewenang tersendiri untuk pengelolaan hutan lindung tersebut.
Semestinya pemerintah segera menyelesaikan kerumitan atas pemindahan pengelolaan Balai Besar Taman Nasional Leuser (BBTNL) tersebut. Sehingga pelayanan-pelayanan kehutanan dapat lebih sederhana sehingga masyarakat dapat memperoleh keuntungan yang maksimal dan harapan ke depannya pengelolaan hutan dan kawasan hutan dapat mereduksi konflik yang terjadi selama ini dengan m byenjadi lebih profesional untuk memberi kesejahteraan kepada masyarakat.
Pemerintah Bertele-tele dalam menyikapi Bendera
mendekati 15 tahun perdamaian Aceh permasalahan-permasalahan untuk merealisasikan butir-butir MoU masih saja menuai Pro dan Kontra salah satunya tentang lambang dan bendera Aceh. Mengenai bendera Aceh yang sering kita melihat di media sosial menjelang memperingati hari perdamaian Aceh, banyak yang menyuarakan baik itu dari kalangan Elit GAM maupun dari kalangan masyarakat untuk mendesak agar segera direalisasikan. Meski demikian, hingga saat ini pemerintah pusat belum menyetujui pemakaian bendera itu sebagai lambang provinsi Aceh karena menyerupai dengan lambang gerakan separatis. Keberatan terhadap bentuk dan desain bendera ini muncul karena dianggap mirip dengan bendera Gerakan Aceh Merdeka. Padahal pemerintah sudah melarang daerah memakai simbol-simbol gerakan separatis. Perundingan mengenai hal ini pun berlangsung alot dan harus diperpanjang beberapa kali. Sebelumnya pemerintah pusat meminta bendera itu diubah agar tidak mirip bendera Gerakan Aceh Merdeka.
Padahal perubahan bisa dilakukan dengan cara menghilangkan garis hitam, mengubah warna atau menambahkan jumlah bintang. Sebelumnya, pemerintah mengatakan bisa membatalkan qanun bendera Aceh karena tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.
Terkait hal ini, terdapat dalam Peraturan Pemerintah no. 77 tahun 2007 tentang lambang daerah. Salah satu isinya adalah daerah tidak boleh menetapkan lambang atau bendera daerah yang menyerupai lambang Papua Merdeka di Papua, Republik Maluku Selatan di Maluku dan di Aceh tidak boleh menyerupai Gerakan Aceh Merdeka.
Penulis menilai Pemerintah telah bertele-tele dalam menyikapi kasus bendera Aceh. Padahal, Pemerintah memiliki kewenangan untuk mengambil diskresi. Yang dimana pemerintah mempunyai kewenangan untuk mengambil diskresi terhadap langkah-langkah simbolik yang tidak mencerminkan MoU Helsinki, dengan adanya butir-butir perjanjian MoU Helsinki tersebut seharusnya itu hendaknya menjadi pegangan perdamaian antara kedua belah pihak. Sehingga tidak ada lagi langkah-langkah yang mencederai perjanjian MoU Helsinki, baik dilakukan oleh bekas-bekas orang GAM yang sekarang memerintah di Aceh, eksekutif, legislatif, maupun oleh pemerintahan pusat.
Semestinya pemerintah menggunakan diskresinya untuk memutuskan masalah. Bahwa itu tidak boleh, dilarang dan tidak sah, sebagaimana tertera dalam perjanjian MoU Helsinki. Sehingga tidak perlu adanya konsultasi lagi karena sudah diatur dalam Nota kesepahaman Helsinki. Dan apabila hal ini akan diterapkan oleh Pemerintah, maka polemik yang berkembang kepada kalangan masyarakat atas ketidak realisasinya butir-butir MoU Helsinki tersebut tidak akan muncul lagi.
Irwan | Alumni Sekolah Kita Menulis & Mahasiswa Ilmu Politik
UIN Ar-Raniry