Vaksin dan Tanggung Jawab Pemerintah

Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Dr. Taqwaddin. (Foto: Istimewa)

Oleh Dr. Taqwaddin *)

banner 72x960

KEJADIAN mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (FH USK) lumpuh usai divaksin (Tempo, 3/8/2021), menghentak banyak pihak di Aceh. Terlebih lagi kasus ini diberitakan banyak media massa, baik media lokal maupun nasional.

Petaka ini dialami oleh Amalia Wulandari, mahasiswi tingkat akhir FH USK. Yang bersangkutan memerlukan sertifikat vaksin sebagai persyaratan administratif dalam rangka penyelesaian studinya.

Ini persyaratan yang diharuskan oleh pihak kampus Universitas Syiah Kuala. Sehingga, mau tidak mau, setiap mahasiswa harus divaksin untuk mendapatkan sertifikat tersebut.

Tulisan ini tidak membahas persoalan vaksin dari aspek medis, tetapi akan menganalisis dari perspektif juridis (hukum), yaitu terkait dengan aspek pertanggungjawaban, baik pertanggungjawaban perdata maupun tanggung jawab administrasi pemerintahan.

Vaksin sebagai Perintah Konstitusi

Dalam Alinea IV UUD 1945 dinyatakan bahwa “dibentuklah Pemerintah Indonesia yang melindungi bangsa dan segenap tumpah darah Indonesia”.

Klausul di atas merupakan normatif konstitusi (grun norm) yang melahirkan kewajiban utama bagi Pemerintah Indonesia untuk melindungi atau memberi keselamatan bagi setiap warga bangsa Indonesia.

Adalah fakta bahwa pandemi Covid-19 sedang mewabah secara mendunia. Semua negara terimbas virus corona ini. Tak ada negara yang bebas dari virus ini.

Salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, begitu juga dengan banyak negara lainnya untuk menghentikan intensitas Covid-19 adalah dengan melakukan suntik vaksin secara masif bagi seluruh warga bangsa, utamanya yang berusia remaja dan dewasa.

Esensinya, suntik vaksin ini dimaksudkan untuk melindungi keselamatan warga bangsa. Karenanya, dalam hal ini, maka vaksin merupakan hak bagi setiap warga negara. Sehingga, di satu sisi vaksin merupakan kewajiban pemerintah untuk melakukannya, dan di sisi lain vaksin adalah hak rakyat yang harus dipenuhi oleh pemerintah.

Dalam ilmu hukum diajarkan, bahwa kewajiban di satu pihak menimbulkan hak di pihak yang lain. Begitu pula sebaliknya, hak di pihak yang satu menimbulkan kewajiban di pihak lain. Sehingga, kedua belah pihak sama-sama saling memiliki hak dan kewajiban.

Tanggung Jawab Terkait Vaksin

Prinsipnya, siapa yang berbuat, maka dialah yang harus bertanggungjawab.

Prinsip pertanggungjawaban ini telah banyak dibahas dalam berbagai teori. Yang intinya, tanggung jawab adalah konsekuensi dari suatu perbuatan. Karenanya, tanggung jawab adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban.

Dalam rangka demi melindungi keselamatan warga bangsa, Pemerintah Indonesia wajib menginisiasi dan implementasi kebijakan vaksinisasi. Konsekuensi dari pelaksanaan kebijakan tersebut, maka mengharuskan pemerintah untuk memikul beban tanggung jawab terhadap akibat yang terjadi karena implementasi vaksin.

Terkait dengan kerangka pikir di atas, maka pemerintah secara berjenjang mulai dari pemerintah pusat sebagai penerbit kebijakan nasional sampai pada pemerintah kabupaten/kota sebagai pihak penerap kebijakan harus bertanggung jawab, termasuk pihak USK yang menerbitkan syarat vaksin tersebut.

Maka terhadap petaka Amelia pihak pemerintah harus bertanggung jawab penuh menanggulangi segala derita yang dialami korban. Pertanggungjawaban  ini harus meliputi tanggung jawab perdata maupun tanggung jawab maladministrative, termasuk tanggung jawab medis jika ditemukan adanya malpraktek.

Dalam diskusi dengan sesama kepala perwakilan Ombudsman RI, saya telah menyarankan pada teman-teman bahwa sebaiknya persyaratan vaksin dapat dikecualikan dengan alasan-alasan medis. Jangan sampai yang diharapkan kemanfaatan, tetapi yang terjadi justru kemudaratan.

Ternyata saran saya diakomodir oleh teman-teman dari provinsi lain, sehingga mereka mengusulkan kepada pemerintah provinsi dan juga kepada perguruan tinggi negeri di wilayahnya agar tidak menerapkan kewajiban vaksin bagi orang-orang yang memang secara medis tidak boleh divaksin. Sehingga, bagi setiap orang yang tidak boleh divaksin, jangan dipaksakan untuk divaksin.

Begitu juga orang yang tidak mau divaksin, tidak boleh diberlakukan sama dengan mereka yang belum divaksin. Bagi yang tidak mau divaksin, dapat dianggap melawan dengan kebijakan pemerintah. Karena jika yang lain semua orang divaksin, sementara ada yang tidak mau divaksin, maka orang ini potensi menyebarkan virus kepada orang-orang lain.

Sedangkan orang yang belum divaksin, bisa jadi karena kelemahan kinerja pemerintah pada suatu daerah tertentu, sehingga stok vaksin tidak cukup tersedia. Dalam hal seperti ini, tentu tidak adil jika diberlakukan ketentuan yang seragam.

Pada akhir catatan ini, saya ingin menyampaikan, kasus Amelia ini harus menjadi iktibar (pelajaran penting) bagi semua pihak, baik pihak pemerintah maupun pihak universitas. Semua pihak yang mengakibatkan lumpuhnya mahasiswi FH USK harus bertanggung jawab. Semoga hal seperti ini tidak terjadi lagi. []

*) Penulis adalah Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Aceh

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *