Sosok Cantik Saharani dan Sensasi Emping Melinjo Meucat Adan
MELINJO merupakan salah satu tanaman khas di Kabupaten Pidie. Biji melinjo diolah menjadi makanan khas bernama emping melinjo atau dalam bahasa Aceh dikenal sebagai kerupuk mulieng. Sebagai sentra melinjo, Pidie juga dikenal sebagai kabupaten penghasil kerupuk mulieng terbaik hasil olahan home industri melibatkan tangan-tangan terampil kaum ibu termasuk remaja putri. Salah satu desa penghasil emping melinjo di Pidie adalah Meucat Adan, Kecamatan Mutiara Timur. Dari desa ini pula Theacehpost.com mendapatkan kisah inspiratif tentang satu keluarga yang menekuni usaha peh kerupuk (memproduksi emping melinjo) melibatkan sosok gadis cantik bernama Saharani (18) yang berhenti sekolah menjelang naik kelas III SMA karena harus fokus membantu perekonomian keluarga.
Keberadaan satu keluarga perajin emping melinjo di Gampong Meucat Adan, Kecamatan Mutiara Timur, Kabupaten Pidie dilaporkan kepada Theacehpost.com oleh Abdul Azis, salah seorang peneliti di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Aceh.
Menurut Azis, gadis bernama Saharani yang akrab disapa Rani merupakan anak ke-4 dari tujuh bersaudara dari pasangan orangtua, Habidah dan Muhammad Yani.
Ketika tim dari BPTP Aceh tiba di rumahnya untuk wawancara dengan perajin emping melinjo, Senin, 7 Juni 2021, awalnya Rani tidak terlihat bersama ibundanya.
“Anak saya itu agak pemalu, makanya dia langsung masuk ke kamar ketika mengetahui ada tamu yang datang,” kata sang bunda sambil berkali-kali memanggil putrinya agar ikut menemani wawancara.
Sambil tersenyum malu-malu akhirnya gadis berkulit putih itu ikut juga bergabung.
“Assalamualaikum, Pak,” ujarnya lembut sebelum mengambil posisi duduk di samping ibu dan makciknya yang sedang peh kerupuk.
Untuk diketahui, usaha pengolahan emping melinjo di Pidie umumnya dilakukan kaum ibu. Sedangkan kaum pria, termasuk kepala rumah tangga beraktivitas dengan berbagai pekerjaan lainnya. Dari usaha rumahan tersebut sangat membantu perekonomian keluarga.
Menurut penuturan Habidah, suaminya bekerja sebagai sopir truk dengan penghasilan pas-pasan. Sebagai istri, dia ikut membantu meringankan beban suami untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
“Anak saya tujuh orang. Rani merupakan yang ke-4. Sehari-hari Rani ikut membantu saya peh kerupuk. Lumayan bisa untuk uang jajan dan menabung,” ujar Habidah.
Rani sendiri punya cukup waktu untuk membantu ibunya karena dia sudah tidak bersekolah.
“Saya berhenti sekolah menjelang naik kelas III SMA. Saya ingin total membantu orang tua,” ujar Rani menyiratkan keikhlasan.
Rani mengaku sedih karena ibunya yang semakin tua masih tetap menekuni usaha peh kerupuk yang sudah dijalaninya sejak gadis.
Pengalaman Rani peh kerupuk dimulai sejak dia masih di bangku SMP. Uang dari hasil pekerjaan itu digunakan untuk keperluan sekolah termasuk uang jajan.
Lalu, tidakkah ada keinginan Rani untuk bisa mengisi masa remaja sebagaimana teman-teman seusianya?
“Saya juga pingin seperti kawan-kawan yang lain, tetapi saya merasa lebih bahagia kalau bisa membantu orangtua,” ujarnya sambil sesekali melemparkan senyum.
Dari hasil pekerjaannya, Rani mengaku mencapatkan ongkos Rp 20.000 untuk setiap bambu emping yang dihasilkan.
“Kalau pekerjaan lagi banyak bisa dapat Rp 40.000 sehari,” ujarnya.
Dengan penghasilan rata-rata tidak mencapai Rp 50.000 sehari, wajar saja jika Rani tidak berobsesi muluk-muluk.
“Yang penting bisa ikut membantu orang tua untuk kebutuhan sehari-hari. Kalau ada lebih saya tabung untuk ikut kursus merias pengantin. Saya juga pingin punya HP android,” ujarnya, polos.
Rumah dari Program Cet Langet
Pasangan Habidah-Muhammad Yani bersama anak-anak mereka kini agak lega karena sudah memiliki rumah layak huni menggantikan rumah lama yang lebih layak disebut gubuk.
Pada tahun 2016, Dr. Ir. Basri A. Bakar, M. Si yang juga peneliti di BPTP Aceh mengunggah foto rumah Muhammad Yani ke Facebook.
Rumah berdinding tepas dan beratap rumbia itu mendapat tanggapan dari berbagai kalangan.
Akhirnya Program Cet Langet bersama Pemkab Pidie dan Yayasan Pidie Mengajar turun tangan. Tak lebih dari tiga bulan, tepatnya pada 2017, Muhammad Yani dan keluarganya sudah memiliki rumah tipe 36 yang tak pernah mereka mimpikan. []