Kecewa Putusan Hakim, Dyah dan Elemen Sipil Aceh Sepakat Kawal Kasus KS

Ketua TP PKK Aceh, Dyah Erti Idawati, saat menggelar pertemuan dengan Dirreskrimum Polda Aceh, Sony Sanjaya, serta sejumlah elemen sipil Aceh, membahas sejumlah kasus terkait kekerasan seksual terhadap anak di Aula Rumah Dinas Wakil Gubernur Aceh, Banda Aceh, Rabu, 26 Mei 2021. (Foto: Humas Aceh)

Theacehpost.com | BANDA ACEH – Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (TP-PKK) Aceh, Dyah Erti Idawati, bersama sejumlah elemen sipil di Aceh bersepakat untuk mengawal kasus kekerasan seksual di bawah umur yang dialami oleh KS.

banner 72x960

Komitmen tersebut disampaikan oleh Ketua TP PKK dan sejumlah perwakilan elemen sipil Aceh, saat menggelar pertemuan membahas tentang sejumlah kasus yang berkaitan dengan tindak kekerasan seksual terhadap anak di Aceh, di Aula Rumah Dinas Wakil Gubernur Aceh, Rabu, 26 Mei 2021.

Bukan hanya korban, kita semua tentu merasa terpukul dan kecewa dengan putusan majelis hakim, baik di tingkat pertama maupun pengadilan banding.

“Alhamdulillah, pada pertemuan yang turut dihadiri oleh Sony selaku Dirreskrimum Polda Aceh, kita semua sudah bersepakat untuk mengawal proses peradilan di tingkat kasasi,” ujar Dyah.

Ia mengakui, meski tidak ada pihak yang mampu mengintervensi putusan majelis hakim yang menangani suatu perkara, namun TP PKK Aceh bersama elemen sipil lainnya akan terus menyuarakan kekecewaan terhadap putusan hakim, baik di persidangan pertama maupun di tingkat banding yang dinilai tidak ramah anak.

“Kekecewaan atas putusan ini akan terus kita suarakan, meski kita tahu hal ini tidak akan mampu mempengaruhi atau mengintervensi putusan hakim. Selain itu, hal yang tak kalah penting adalah upaya pendampingan terhadap korban ini juga akan terus kita lakukan,” tegas Dyah.

 TP PKK dan elemen sipil Aceh akan berkoordinasi dengan para pihak dan melakukan analisa terhadap keputusan hakim serta memberikan dukungan atas proses kasasi yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Sebelumnya, Pemerintah Aceh melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh telah menyampaikan kekecewaannya terhadap putusan bebas kedua terdakwa yang dijatuhkan oleh Mahkamah Syariah Aceh.

Padahal sebelumnya terdakwa, yakni paman korban berinisial DP telah dijatuhi hukuman 200 bulan penjara oleh majelis hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho.

Sementara itu, Dirreskrimum Polda Aceh, Kombes Pol Sony mengajak peserta pertemuan untuk mengampanyekan upaya pencegahan kekerasan dan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak secara lebih masif dengan memanfaatkan teknologi informasi.

Masih banyak warga masyarakat yang belum memahami upaya pencegahan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Oleh karena itu, mari bersama, kita manfaatkan teknologi, kita manfaatkan media sosial untuk mengampanyekan gerakan ini secara lebih luas.

“InsyaAllah dengan gerakan bersama, upaya kita mencegah tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak ini akan membuahkan hasil maksimal,” kata Kombes Sony.

Dalam pertemuan tersebut, sejumlah elemen sipil Aceh yang terdiri atas Balai SYURA, Flower ACEH, Pusat Riset Gender Unsyiah, PUSHAM USK, Forum Puspa Aceh, PKBI Aceh, Puan Addisa, AWPF Aceh, SP Aceh, RPuK, KPI Aceh, Forhati Aceh, Rakan Setia Aceh dan LKBHUWK, menyampaikan position paper yang berisi 8 poin terkait Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, yaitu;

1. Mendesak agar Mahkamah Agung melakukan pengawasan yang maksimal terhadap putusan-putusan pengadilan yang berada di bawah kewenangannya sehingga putusan-putusan yang ditetapkan adil bagi semua masyarakat khususnya korban.

2. DPRA melakukan legislative review terhadap Qanun Jinayah untuk mencabut pasal terkait jarimah pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap anak, dan jarimah ini mengacu pada UU Perlindungan Anak dan Sistem Peradilan Pidana Anak.

3. Pemerintah meningkatkan alokasi anggaran untuk pencegahan, penanganan dan pemberdayaan perempuan dan anak di Aceh, khususnya terkait dengan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

4. Mendorong penyediaan SDM yang cakap (social maker yang berada dalam lingkup pemerintah), sarana dan prasarana yang memadai terhadap pemulihan perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan seksual, termasuk ketersediaan rumah aman untuk proses pemulihan korban kekerasan dan pembinaan untuk anak berhadapan dengan hukum.

5. Sehubungan dengan hukum acara pidana Indonesia untuk memasukkan klausula tentang kompetensi para hakim yang memiliki pemahaman, pengetahuan dan sensitivitas korban dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.

6. Memastikan Aparat Penegak Hukum, khususnya hakim mendapatkan peningkatan kapasitas dan sertifikasi pengetahuan berbagai kebijakan perlindungan perempuan dan anak (UUPA, SPPA) serta memiliki perspektif penanganan korban.

7. Pengadilan dan seluruh lintas sektor yang menangani kasus hukum bagi korban disabilitas menyediakan tenaga ahli untuk mendampingi korban

8. Mendukung segera disahkannya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual ini, dalam rangka memperkuat dan menjaga perdamaian Aceh. []

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *