Lembaga Pendidikan Dayah: Dapat Dijangkau Masyarakat Paling Miskin Sekalipun
Oleh Teuku Zulkhairi
Sebuah fakta bahwa tahun ke tahun kepercayaan masyarakat Aceh terhadap pendidikan dayah semakin meningkat. Termasuk terhadap Dayah Babussalam Matangkuli Aceh Utara.
Para orangtua berbondong-bondong mengantarkan anak-anaknya ke Dayah Babussalam. Akibatnya, setiap tahun membutuhkan tambahan sarana dan prasarana baru. Agar dapat menampung para calon santri baru. Tak mungkin dayah menolak ketika orang tua mengantarkan anak ke dayah.
Sebab, dayah menjalankan misi Islam untuk membina dan mendidik kaum muslimin seluruhnya tanpa dibeda-bedakan. Mesti diingat, dayah berbeda dg lembaga pendidikan lainnya yang memiliki masa untuk belajar. Setelah wisuda, tak ada lagi tempat untuk belajar.
Di dayah, yang berlaku adalah semboyan: “at-Tarbiyah madal Hayah“, pendidikan seumur hidup. Atau dalam bahasa Inggris, “long life education“.
Jadi belajar di Dayah yang menggunakan sistem pendidikan tradisional tidak ada istilah wisuda. Apa tujuannya? Regenerasi ulama yang “tafaqquh fiidin“.
Adapun penguatan fiqh dalam kajian keilmuan di dayah oleh sebab fiqh merupakan panglima ilmu, sebagaimana disebutkan Syaikh Az-Zarnuji dalam kitab Ta’lim Muta’allim. Dengan wawasan fiqh yang kuat, seorang pelajar di dayah akan dapat memahami batasan “halal dan haram” dalam semua dimensi kehidupan.
Mengetahui halal dan haram dan kemudian menjaga diri dan masyarakatnya, tentulah itu akan mengantarkan bangsa kepada sebuah tatanan ideal yang dicita-citakan Islam.
Kata Syaikh Az-Zarnuji, seorang pedagang akan menajdi Seorang yang zuhud ketika ia mampu menjaga yang halal dan haram.
Kembali ke semboyan “pendidikan seumur hidup” yang berlaku di dunia dayah, dengan sistem seperti itu, otomatis membuat kebutuhan terhadap sarana dan prasarana baru selalu meningkat. Tak ada wisuda (pelepasan) tahunan di satu sisi, dan plus setiap tahun semakin banyaknya orang tua yang mengantarkan anak-anaknya ke dayah di sisi lain.
Jadi kapan santri keluar dari dayah? Saat sudah siap menjalankan misi ta’lim, beut seumeubeut di masyarakat, di tempat lain.
Itu sebab, Dayah Babussalam Matangkuli membuka peluang wakaf pembebasan tanah bagi masyarakat Aceh dan siapa saja lainnya.
Tanah yang ingin dibebaskan ini berlokasi disamping Dayah Babussalam. Jadi, sekiranya dapat dibebaskan dg bantuan kaum muslimin, maka dapat berguna bagi pembangunan asrama santri kelak di dalam satu lokasi dengan dayah.
Ada tiga fungsi dayah yang mesti dipahami. Yang dengan ketiga fungsi ini membuat setiap rupiah kaum muslimin yang diwakafkan untuk dayah menjadi selalu bernilai tinggi.
Pertama, dayah adalah lembaga pendidikan. Kedua, dayah adalah pusat pembinaan masyarakat. Ketiga, dayah adalah sentral atau pusat gerakan dakwah Islamiyah. Ketiga fungsi ini merupakan jatidiri lembaga pendidikan dayah.
Pendidikan dayah tidak hanya mendidik anak-anak bangsa, namun juga menjadi pusat dakwah Islamiyah dan sentral pembinaan masyarakat di kawasan tersebut.
Jadi, amal jariyah yang mengalir kepada setiap pewakaf akan sangat bermakna.
Dan terakhir, sebuah fakta tak terbantahkan bahwa dayah sangat akomodatif terhadap masyarakat miskin. Semiskin apapun seorang anak Aceh, dia pasti dapat belajar di dayah asal ada kemauan.
Belum pernah ada kasus warga miskin ditolak belajar di dayah karena tidak ada uang untuk masuk ke dayah. Malahan jika ada kemauan dan tekad yang kuat, di dayah itu dia dapat belajar untuk hidup mandiri.
Saya ingat persis perihnya kehidupan keluarga kami di waktu kecil. Dengan ayah dan ibu sy tidak punya penghasilan. Kami tidak jarang tidak makan di rumah. Tak punya jajan ke sekolah. Di sekolah, Firdhaus Bin Ahmad adalah seorang kawan yang sangat sering mentraktir saya makan. Sementara tempat ngutang ikan asin sudah ada tempat khusus keude Fahruddin dari Pulo Agam.. hehe.
Kami pergi ke dayah. Dan disitu mulailah saya belajar untuk bagaimana tetap bertahan dalam hidup ini. Pagi ke sekolah, pulang sekolah pergi ke lahan, sore mengajar TPA. Maghrib sudah berada di dayah untuk baca surah yasin. Setelah Maghrib mulai belajar sampe jam 23.00 dan lanjut meu ulang sampai jam 00.00. Lalu bangun sebelum subuh dan siap-siap ke mushalla untuk kemudian kembali ngaji.
Tak ada kiriman dari orang tua sebab orang tua sendiri tidak berkemampuan.
Yang mau saya sampaikan adalah, semiskin apapun kita dayah tetap welcome. Kita tidak perlu berfikir SPP bulanan yang selangit. Tak ada itu di dayah. Memang ada sedikit SPP, tapi meskipun saya saat itu jarang membayar, itu tidak membuat saya dikeluarkan.
Untuk makan hari-hari kami sering berbagi kuah. Tapi jikalau kuah tak ada, yang penting ada nasi itu sudah syukur sekali.
Ketika masyarakat panen padi, disitulah saya bersama Fahruddin “berhari raya”. Hehe. Ya, kami minta kepada Waled untuk diizinkan mencari sumbangan padi dari masyarakat untuk pembangunan dayah.
Dari satu sawah ke sawah lainnya. Dari satu rumah ke rumah lainnya. Seberapapun dikasih kami bersyukur. Setelah semua sumbangan terkumpul, kami cari becak untuk bawa pulang ke dayah. Dan dari situ,kami mendapatkan hak amil. Alhamdulillah. Bisa beli baju baru gitu lho heheehe.
Jadi ya begitulah bukti menunjukkan bahwa dayah adalah institusi pendidikan yang merakyat. Kita bisa belajar hidup disitu.
Saya yakin dan tahu bahwa saat ini cukup banyak santri yang seperti perjalanan kehidupan saya dulu. Dan mereka semua adalah anak-anak bangsa Aceh. Anak-anak muslim.
Mari membantu pembebasan tanah wakaf untuk Dayah Babussalam. Semampu kita. Insya Allah akan menjadi amal jariyah. Amiin ya Allah.
Penulis adalah alumnus Dayah Babussalam Matangkuli Aceh Utara. Dosen UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
Tinggalkan Balasan
1 Komentar
-
Fajri M Kasin
Gambaran keberadaan dayah Aceh yg gencar menyampaikan Pendidikan dan dakwah Agama kepada Ummat sebagaimana pesan Rasul kepada kaum Muslimin. Tks