Canang Ceureukeh, Alat Musik Khas Lhokseumawe Diusulkan Jadi WBTB

Warga memainkan alat musik tradisional, Canang Ceureukeh. (Foto: Theacehpost.com)

LHOKSEUMAWE adalah salah satu kabupaten/kota di Provinsi Aceh yang berjarak kurang lebih 273 kilometer dari Kota Banda Aceh.

banner 72x960

Dulunya, Kota Lhokseumawe merupakan ibu kota dari Kabupaten Aceh Utara, hingga pada akhirnya terbitlah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2001 tanggal 21 Juni 2001 tentang pembentukan Kota Lhokseumawe yang ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia masa itu Abdurrahman Wahid.

Saat itu, Lhokseumawe terbagi menjadi tiga kecamatan, yaitu Banda Sakti, Muara Dua dan Blang Mangat.

Pada tahun 2006, Kecamatan Muara Dua mengalami pemekaran menjadi dua bagian, yakni Muara Dua dan Muara Satu.

Alhasil, Lhokseumawe kini terbagi menjadi empat wilayah dengan meliputi sembilan kemukiman, 68 gampong dan 259 dusun.

Pemerintah Aceh melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh mengusulkan untuk penetapan beberapa Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) tahun 2021 kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI).

Salah satunya ialah Canang Ceureukeh, yang merupakan alat musik tradisional dari Kota Lhokseumawe.

Alat musik tradisional dari Kota Lhokseumawe, Canang Ceureukeh. (Foto: Theacehpost.com)

Canang Ceureukeh adalah alat musik tradisional jenis perkusi dengan bilahan dari kayu, yang ditabuh dengan menggunakan kayu atau setik.

Zaman dahulu, Canang Ceureukeh ini dimainkan oleh para petani di sawah pada masa sebelum panen. Tujuannya, untuk menjaga padi dari hama burung.

“Dulu, Canang Ceureukeuh ini kami mainkan untuk usir burung, tradisi ini sudah ada sejak saya kecil, sudah turun-temurun,” ujar Syekh Muhammad Isa Daud yang akrab dipanggil Utoh Amad, saat ditemui di rumahnya, Gampong Lhok Jok, Suka Makmur, Kabupaten Aceh Utara, Kamis, 10 Maret 2021.

Utoh Amad merupakan salah satu pengrajin alat musik tradisional Aceh pada umumya, seperti Serune Kalee, Rapai, Geundrang, dan juga Canang Ceureukeh.

Kepada Theacehpost.com, Utoh Amad menuturkan, seiring perkembangan zaman, keberadaan Canang Ceureukeh ini sudah sangat langka karena kurangnya branding atau pengenalan kepada generasi muda.

“Sekarang, sudah sangat langka, peminatnya pula sangat sedikit. Bahkan sesekali, dipakai menjadi alat pengiring musik dangdut,” ungkap Utoh Amad.

Ia berharap pemerintah daerah bisa meloloskan dan menetapkan Canang Ceureukeh ini sebagai WBTB, karena menurutnya, dengan demikian eksistensinya sendiri bisa terus bertahan dan bisa menambah pengetahuan generasi muda kepada tradisi khas Lhokseumwe tersebut.

“Semoga bisa ditetapkan sebagai (WBTB), sehingga alat musik tradisi ini bisa terus kita kembangkan, jangan sampai punah,” harap dia.

Sementara itu, Joel Pasee yang merupakan salah satu seniman di kota setempat mengatakan, pada mulanya Lhokseumawe itu merupakan bagian dari Pemerintah Kabupaten Aceh Utara.

“Waktu sebelum pemekaran, yang paling sering mempopulerkan Canang Ceureukeh itu adalah masyarakat Lhokseumawe, makanya WBTB Canang Ceurekeh ini diusulkan oleh Disdikbud (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan) Kota Lhokseumawe, bukan Aceh Utara walaupun maestronya itu sendiri berdomisili di Aceh Utara,” ungkapnya. []

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *