Sejumlah Hikmah di Balik Isra Mikraj
ISRA MIKRAJ merupakan peristiwa bersejarah yang sangat agung. Sebuah perjalanan kilat lintas dimensi dalam satu malam.
Peristiwa bersejarah ini diabadikan dalam firman Allah SWT,
سُبۡحَٰنَ ٱلَّذِيٓ أَسۡرَىٰ بِعَبۡدِهِۦ لَيۡلٗا مِّنَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ إِلَى ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡأَقۡصَا ٱلَّذِي بَٰرَكۡنَا حَوۡلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنۡ ءَايَٰتِنَآۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Isra: 1)
Tentu, peristiwa seagung itu memiliki banyak hikmah dan pelajaran yang bisa kita renungi dan mengambil pelajaran.
Berikut adalah beberapa hikmah dan pelajaran penting di balik Isra Mikraj:
Tingginya derajat kehambaan
Penyebutan Nabi Muhammad saw dalam ayat Isra’ (QS Al-Irsa:1) menggunakan kata ‘Abdun’ yang memiliki arti hamba, tidak menggunakan -misal kan- kata ‘nabi’, ‘rasul’ atau pun ‘khalil’ (kekasih).
Ini menunjukkan bahwa derajat kehambaan di sisi Allah memiliki nilai yang sangat tinggi.
Oleh karena itu, ketika Al-Qur’an berbicara tentang orang-orang ikhlas menggunakan kata ‘Abdun’. Allah berfirman,
وَعِبَادُ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلَّذِينَ يَمۡشُونَ عَلَى ٱلۡأَرۡضِ هَوۡنٗا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ ٱلۡجَٰهِلُونَ قَالُواْ سَلَٰمٗا
“Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (QS. Al-Furqan: 63)
Melaui Jibril, Allah pernah memberikan pilihan kepada Nabi Muhammad saw untuk memilih ingin ‘menjadi nabi sekaligus raja’, ‘atau menjadi nabi sekaligus hamba’.
Kemudian Nabi lebih memilih menjadi hamba yang mengabdi kepada Allah. Ini menunjukkan bahwa status kehambaan merupakan derajat paling agung di sisi Allah.
Penyebutan Nabi Muhammad SAW menggunakan kata “Abdun” tidak hanya dalam surat al-Isra.
Dalam beberapa ayat lain juga sama. Seperti dalam surah Al-Baqarah: 23, Al-Hadid: 9 dan Al-Jin: 19.
Pembekalan dakwah untuk Rasulullah
Kita tahu, sebelum peristiwa Isra Mikraj, Rasulullah SAW berdakwah di Kota Mekah. Di sana beliau merasakan betapa berat cobaan dan ujian dirasakan.
Orang-orang tercinta dan para warga tempat beliau bersandar silih berganti wafat, saat orang-orang Quraisy tengah begitu ganas menindas.
Sampai kemudian para sejarawan menamai duka Rasulullah atas kewafatan orang-orang tercinta dengan nama ‘amul huzni (tahun kesedihan). Setelah itu Allah meng-isra-kan Nabi-Nya.
Ini semua sudah skenario Allah agar Nabi Muhammad menjadi sosok yang tangguh. Tantangan dakwah beliau ke depan akan sangat berat dan berliku.
Menyebarkan agama Islam dengan perlawanan dari pemuka-pemuka Quraisy, dari pasukan perang bersenjata lengkap, dan musuh-musuh Islam kelas jenderal lainnya.
Allah telah membekali Nabi Muhammad SAW sejak ia lahir dengan kehidupan pedih yang mengasah ketangguhannya.
Bahkan kita tahu, setelah Isra Mikraj, tepatnya setelah hijrah ke Madinah, hambatan dakwah Rasulullah lebih berat.
Peristiwa perang badar, perang uhud, perang mu’tah, dan perang-perang lainnya adalah fakta sejarah bahwa perjuangan dakwah Nabi periode Madinah penuh tantangan dan berliku.
Sampaikan kebenaran walau pahit
Sepulang dari Isra Mikraj, Nabi Muhammad SAW menyampaikan perjalanannya itu kepada penduduk Mekah. Tapi apa respons mereka? Banyak diantaranya tidak percaya.
Bahkan ada yang semula beriman, tapi setelah mendengar ‘cerita tidak masuk akal’ ini, mereka keluar dari Islam. Sampai Nabi Muhammad SAW harus menceritakan bukti-bukti untuk memperkuat argumennya; seperti soal bangunan masjid Aqsha dan kafilah dagang yang beliau lihat saat Isra.
Nabi tetap menyampaikan kabar peristiwa Isra Mikraj yang dialaminya dengan terus terang. Meski harus dibalas dengan cacian dan ejekan dari orang-orang musyrik.
Bukankah beliau pernah bersabda, “Katakanlah kebenaran, walau pahit kenyataan.”
Syariat Nabi Muhammad SAW
Saat peristiwa Isra Mikraj, Rasulullah SAW menjadi imam shalat bagi nabi-nabi terdahulu. Ini bukti bahwa mereka tunduk dan mengikuti risalah Nabi Muhammad SAW.
Alhasil, sekaligus menjadi isyarat bahwa syariat Nabi Muhammad SAW telah menghapus syariat nabi-nabi sebelumnya.
Keistimewaan Masjid al-Aqsha
Sebelum peristiwa Isra Mikraj, Masjid al-Aqsha dinamakan Baitul Maqdis.
Perjalanan Isra dari Masjidil Haram menuju Baitul Maqdis dan Mikraj dari Baitul Maqdis menuju langit dunia sampai bertemu Rabb-nya, merupakan isyarat bahwa Masjid al-Aqsha memiliki keistimewaan bagi umat Islam.
Bahkan masjid ini pernah menjadi kiblat shalat sebelum akhirnya berganti Ka’bah. Pahala shalat Baitul Maqdis (Masjid al-Aqsha) juga 500 kali lipat dibanding masjid biasa.
Islam adalah agama yang suci
Saat Nabi Muhammad diberi pilihan antara air susu dan khamr, Nabi memilih susu.
Kemudian Malaikat Jibril berkata, “Engkau telah diberi hadiah kesucian.”
Ini sebagai isyarat bahwa Islam adalah agama suci (fitrah). Allah berfirman dalam Alquran,
فَأَقِمۡوَجۡهَكَلِلدِّينِحَنِيفٗاۚفِطۡرَتَٱللَّهِٱلَّتِيفَطَرَٱلنَّاسَعَلَيۡهَاۚلَاتَبۡدِيلَلِخَلۡقِٱللَّهِۚذَٰلِكَٱلدِّينُٱلۡقَيِّمُوَلَٰكِنَّأَكۡثَرَٱلنَّاسِلَايَعۡلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum: 30)
Pentingnya persoalan shalat
Peristiwa Isra Mikraj juga menjadi hari ulang tahun bagi shalat lima waktu. Dalam hadis Nabi dijelaskan bahwa kewajiban shalat bagi umat Muslim terjadi pada malam Nabi Muhammad SAW Mikraj ke langit.
Hanya syariat shalat yang beliau terima langsung, bukan dengan wahyu melalui perantara malaikat Jibril sebagaimana kewajiban-kewajiban lainnya.
Tidak heran, dalam agama Islam, shalat merupakan tiang agama (Imad ad-Din).
Ainulyakin Nabi Muhammad SAW
Sebelum Mikraj, Rasulullah hanya mendengar sifat-sifat soal surga, neraka dan hal-hal gaib lainnya melalui wahyu. Ini namanya Ilmu Yakin; Nabi mengimaninya tapi belum melihat langsung.
Ketika Mikraj, Rasulullah SAW meliat langsung dengan mata kepala beliau sendiri. Ini namanya ainulyakin. []