‘Muhajirin’ Rohingya dan Mentalitas Zaman Perang
Oleh Mustafa Husen Woyla
Aceh kembali mengulang sejarah gemilang dalam bidang kemanusiaan, karena telah menampung dan menyelamatkan muslim Rohingya, Rakhine, Myanmar. Para pencari suaka menaruh perhatian akan kebesaran jiwa dan tingginya nilai persaudaraan ureung Aceh, berdasarkan pengalaman tahun 2018 silam.
Pun demikian, ada segelintir orang Aceh, etnis lain, baik kedaerahan dan secara kenegaraan menolak muslim Rohingya dari Rakhine karena mengkhawatirkan akan ada dampak negatif yang muncul kemudian hari, jika ditampung muslimin malang dari Burma itu.
Dan itu telah terjadi di beberapa negara tetangga yang sudah menampung suaka politik mereka sebagai warga negara bagian Rakhine, Myanmar.
Syahdan, muslim Aceh yang hidup masa konflik dan pengamat perang, mengerti betul bagaimana psikologis dan mentalitas orang yang hidup pada konflik perang.
Begitu juga dengan Muslim Rohingya yang sudah didera oleh krisis akut, sejak 1962 sampai 2020, artinya sudah setengah abad lebih Jenderal Ne Win, Junta Militer menghapus Rohingya dari warga Negara Myanmar, dan mereka ditindas, hak sipil dan hak politik dicabut bahkan segala bentuk ketidakadilan berlaku pada mereka.
Akibat krisis berkepanjangan, kebutuhan primer pangan, sandang dan papan mereka sudah pada taraf memprihatinkan.
Parahnya, Ne Win, menganggap etnis Rohingya pendatang illegal dari Bangladesh, sehingga mesti dipulangkan ke daerah asalnya Bangladesh. Namun sayang seribu sayang, Bangladesh juga menolak.
Dari gambaran di atas, dapatlah kita lihat krisis muslim Rohingya dalam tinjuan maqāṣid asy-syarīʿah (tujuan-tujuan syariah), yakni;
1. Hifdzu din (melindungi agama), 2. Hifdzu nafs (melindungi jiwa), 3. Hifdzu aql (melindungi pikiran), 4. Hifdzu mal (melindungi harta), 5. Hifdzu nasab (melindungi keturunan).
Sudah sangat tepat langkah mereka tempuh dengan bertaruh nyawa melawan gelombang mengarungui lautan demi mendapat secercah harapan dari muslim Aceh menyalamatkan agama, jiwa dan keturanannya.
Perlu diketahui, selama konflik perang, mereka tidak mengenyam pendidikan yang dalam maqāṣid asy-syarīʿah bersifat haajiyat (sekunder). Hal ini bisa dibandingkan kebutuhan primer (dharuri), yakni, Hifdzu din (melindungi agama) dan Hifdzu nafs (melindungi jiwa). artinya, Langkah mereka menomor duakan pendidikan sudah tepat, karena menjaga agama dan nyawa jauh lebih penting (primer).
Jadi wajar, jika etnis Rohingya berperadaban ‘minimalis’ dan yang menjadi tokoh rata-rata berumur 40-50 tahun, yang lahir pada masa konflik.
Contoh segarnya, di masa pandemi covid -19, para pelajar dan mahasiswa anjlok nilai karena tidak ada aktifitas PBM yang memadai.
Bahkan orang tua kualahan mengawal anak belajar mencapai target minimal. Artinya, ketika hifdzu nafs (melindungi jiwa) dari ancaman penularan virus corona, semua dinomordua dan tigakan,
Tersebab itu, tentu mereka butuh binaan yang menyeluruh sesuai aturan negara, agama dan adat istiadat yang berlaku semampu kita.
Atas dasar agama dan kemanusian, sudah seyogyanya , mesti kita beri perhatian semampu kita. Dan itu bukan perkara mudah.
Kemudian, sudah menjadi sunatullah manusia ada pro dan kontra, menerima atau menolak, walaupun muslim Aceh mayoritas menerima.
Semua yang berlaku hari ini, Aceh sebagai pahlawan di mata muslim Rohingya, tidak terlepas dengan warisan karakter dan budaya “sifeut tulong mulong lage zat ngon sifeut” dalam pribadi ureung Aceh
Ohya, setelah saya jelaskan duduk perkara, masih belum jelas, kenapa ureung Aceh menolong, maka baca lagi, hehe.
Baiklah, ini sedikit saya bandingkan, kenapa kita berbesar hati dan welcome dengan kehadiran Cina yang merebut pengaruh sektor ekonomi, begitu juga ivestor Barat yang mayoritas para penjajah yang sampai hari ini masih melakukan penjajahan dalam gaya baru, justru tidak kita persoalkan…!
Sekian, Itulah sekelumit kisah dan segudang masalah kemanusian yang sedang dihadapi oleh “kaum muhajirin” termarjinal itu.
Pengamat Bumoe Singet dari Woyla