18 Nelayan Aceh Timur Ditangkap di Thailand, Anggota DPRK Lapor ke Haji Uma
THEACEHPOST.COM | Jakarta — Sebanyak 18 nelayan asal Aceh Timur dilaporkan ditangkap oleh otoritas maritim Thailand pada Senin pagi, 19 Mei 2025. Penangkapan itu terjadi di perairan perbatasan antara Aceh dan Thailand. Para nelayan diduga melakukan pelanggaran batas wilayah dan penangkapan ikan ilegal (illegal fishing).
Informasi ini pertama kali disampaikan oleh Zubir, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Timur dari Partai Demokrat, kepada anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Aceh, H. Sudirman atau yang akrab disapa Haji Uma.
Zubir melaporkan bahwa dua unit kapal nelayan asal Aceh Timur hilang kontak sejak pagi. Setelah ditelusuri, kapal-kapal tersebut diketahui telah diamankan oleh patroli laut Thailand dan dibawa ke Phuket.
“Kami mendapat laporan dari anggota DPRK Aceh Timur terkait hilangnya dua kapal nelayan. Setelah kami telusuri dan berkomunikasi dengan pihak KRI Songkla di Thailand, ternyata benar bahwa kapal dan seluruh awaknya telah ditangkap,” ujar Haji Uma dalam keterangan pers, Selasa (20/5/2025) malam.
Dua kapal yang dimaksud adalah KM Jasa Cahaya Ikhlas yang dinakhodai Umar Johan dan membawa 12 nelayan, serta KM New Rever yang dinakhodai Ridwan dengan 6 nelayan. Saat ini, seluruh awak kapal berada dalam pengawasan otoritas Thailand.
Haji Uma menyampaikan bahwa ia telah menghubungi Konsulat Republik Indonesia (KRI) di Songkla. Pihak KRI, melalui staf bernama Jesica, membenarkan bahwa proses verifikasi terhadap identitas para nelayan sedang berlangsung. Tim dari KRI juga telah dikerahkan ke lokasi untuk memastikan kondisi para nelayan dan menyiapkan pendampingan hukum yang dibutuhkan.
“Tuduhan sementara yang dikenakan kepada para nelayan kita adalah memasuki perairan Thailand secara ilegal dan menangkap ikan tanpa izin,” jelas Haji Uma.
Sebagai tindak lanjut, Haji Uma telah menginstruksikan timnya di Aceh Timur untuk melakukan pendataan lengkap terhadap seluruh nelayan yang ditangkap, termasuk riwayat pelayaran, alamat tempat tinggal, serta berkoordinasi dengan panglima laot, Dinas Kelautan dan Perikanan, dan kepala desa setempat.
Menurutnya, pendataan tersebut penting untuk memudahkan proses advokasi hukum. Ia juga meminta KRI Songkla untuk mengawal proses hukum secara ketat dan memastikan hak-hak para nelayan terpenuhi selama masa penahanan.
“Kita tentu menghormati hukum yang berlaku di Thailand. Namun, jika dalam prosesnya terdapat kekeliruan atau pelanggaran prosedur, kami siap menempuh jalur hukum untuk membela para nelayan melalui dukungan KBRI,” tegasnya.
Haji Uma juga menyampaikan keprihatinannya atas peristiwa yang terus berulang. Menurutnya, banyak nelayan tradisional Aceh belum memiliki pemahaman dan peralatan navigasi yang memadai, sehingga kerap tidak menyadari saat melewati batas wilayah negara lain.
“Ini bukan kejadian pertama. Saya selalu mengingatkan agar nelayan kita berhati-hati dan memperhatikan batas wilayah laut. Namun, kesalahan seperti ini masih sering terjadi. Yang paling dirugikan tentu saja keluarga mereka,” ujarnya.
Ia menegaskan pentingnya edukasi dan pendampingan bagi nelayan, terutama yang beroperasi di wilayah perbatasan. Ia juga mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk memberikan perlindungan hukum, pelatihan navigasi, serta bantuan alat pelacak posisi kapal.
“Nelayan adalah kelompok rentan yang harus dilindungi. Saat mereka berada di wilayah perairan asing, negara harus hadir. Kami akan terus mengawal kasus ini sampai tuntas dan ada kejelasan serta keadilan bagi para nelayan,” pungkas Haji Uma.