Warisan dan Keadilan

waktu baca 7 menit
Rizki Mustaqim STh MA. (Foto: Dokpri)
banner 72x960

Oleh Rizki Mustaqim STh MA *)

ISLAM adalah agama paripurna dan universal (rahmatan lil alamin). Tidak ada hal yang tidak diatur dalam Islam. Mulai dari urusan muamalah, pernikahan, keluarga, ekonomi bahkan politik pun diatur dengan lengkap.

Ketika umat tidak mendapatkan jawabannya dari Alquran, maka Allah memberikan mandat penuh kepada utusan-Nya, Nabi Muhammad untuk menjawab dan menjelaskan hal yang samar tersebut. Sehingga bagi seorang muslim cukup lah dua perkara di atas, yaitu Alquran dan al-Sunnah menjadi sebagai pedoman hidup.

Tujuan dari penetapan syariat (aturan) itu semua tak lain adalah untuk terciptanya keadilan, keteraturan dan terjalinnya rasa kasih sayang antar umat manusia.

Di antara banyak hal yang menjadi perhatian syariat yang telah disebutkan di atas, dalam tulisan ini akan dibahas secara ringkas perkara yang berhubungan dengan urusan muamalah yang akan berfokus pada masalah hibah, wasiat dan warisan.

Ketiga hal tersebut semuanya berhubungan dengan harta, sehingga banyak menimbulkan terjadinya perselisihan, permusuhan bahkan sampai penghilangan nyawa.

Kita sering mendengar kisah seorang anak yang menuntut hak harta kepada orang tua, atau sebaliknya orang tua yang bersumpah sampai matinya pun tidak mau harta warisannya jatuh ke tangan anak-anaknya.

Sering juga kita dapati bagaimana sebuah keluarga tidak akur karena ketidakadilan yang terus menurus dipertontonkan di dalamnya. Semua itu terjadi disebabkan oleh rasa rakus, tamak, serta ketiadaan ilmu.

Bahkan acap kali perselisihan itu terjadi disebabkan tidak patuhnya seorang hamba, keluarga atau komunitas terhadap syariat yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Padahal sekiranya saja mau mematuhi seluruh aturan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul serta tidak latah mencari keadilan versi lainnya, atau berusaha menggugat keadilan (hukum) Tuhan yang sudah paripurna, niscaya mustahil akan terjadi hal-hal yang memilukan di atas.

Terkait dengan hibah, wasiat dan warisan, ketiga hal tersebut semua sudah dibahas secara tuntas dalam syariat. Dalam literatur fikih disebutkan, hibah berarti pemberian dari seseorang kepada orang lain yang dilakukan ketika si pemilik harta masih hidup dengan niat sedekah.

Contoh orang tua yang memanggil semua anaknya lalu membagikan pemberian yang sama. Maka dalam hal ini pemberian tersebut dihitung sebagai hibah bukan warisan.

Hal itu dibenarkan dalam syariat, akan tetapi dengan syarat adil. Dan lebih baik kalau pemberian (hibah) itu dicatat serta menghadirkan saksi guna menghindari perselisihan dikemudian hari.

Sementara wasiat, adalah pemberian dari seseorang kepada orang lain ketika masih hidup dengan niat sedekah akan tetapi penyerahannya dilakukan ketika si pemiliki harta sudah meninggal.

Sebagai contoh, orang tua memanggil anaknya, lalu berkata bahwa ia hendak mewasiatkan sebahagian hartanya untuk panti asuhan. Maka anak-anaknya wajib menunaikan wasiat tersebut, akan tetapi syariat mengatur besarannya.

Wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga dari harta yang ditinggalkan oleh si pemilik harta dan juga tidak dibenarkan untuk diberikan kepada ahli waris kecuali dengan persetujuan ahli waris lainnya.

Adapun warisan, adalah berpindahnya kepemilikan harta dari seorang yang meninggal kepada ahli warisnya secara otomatis (langsung) tanpa harus adanya izin atau wasiat dari si pemilik harta (yang meninggal).

Untuk menghindari sengketa dan perselisihan, maka sebaiknya harta warisan langsung dibagikan ketika si pemilik harta meninggal dunia.

Sekilas ada kemiripan dari masing-masing ketiga hal di atas, yaitu sama-sama berpindahnya harta dari seseorang kepada orang lain, baik kepada ahli warisnya ataupun bukan kepada ahli warisnya.

Tetapi syariat membedakan ketiga hal tersebut secara rinci. Maka seorang muslim, harus benar-benar memiliki pengetahuan serta patuh dalam menjalankan aturan tersebut.

Namun dalam prakteknya, banyak dari umat yang masih menyamakan atau mencampur adukkan ketiga hal di atas. Atau mungkin sudah ada ilmu terhadapnya akan tetapi mencoba untuk mengelabui atau berusaha untuk mencari dalih atau keadilan versi lainnya, hanya untuk memperturutkan hawa nafsu. Mereka berpaling dari keadilan (aturan) yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.

Sebagai contoh, dalam satu keluarga ada orang tua bersikap tidak adil terhadap pemberian (hibah) kepada anak-anaknya, baik itu dalam bentuk materi maupun non materi (kasih sayang). Padahal syariat telah mewanti-wanti akan hal ini.

Dalam sebuah hadis disebutkan, pernah suatu ketika seseorang menghadap Rasulullah dengan anaknya, lalu berkata;

Sesungguhnya aku akan memberikan budakku ini kepada anakku, Rasulullah bertanya, apakah seluruh anakmu engkau berikan pemberian yang sama? Dia menjawab, tidak. Rasulullah bersabda, “Jangan engkau persaksikan aku dengan kejahatan (kezaliman) ini”. Kemudian Rasulullah melanjutkan, apakah engkau mau kalau sikap bakti yang mereka berikan sama? Dia menjawab iya, kalau begitu tidak.” (HR Bukhari dan Muslim).

Berdasarkan hadis di atas, Rasulullah sangat menitikberatkan kepada orang tua untuk bersikap adil terhadap anak-anaknya. Begitu pentingnya keadilan dalam sebuah keluarga, sampai Rasulullah pun mengajarkan wajib bersikap adil walau dalam masalah ciuman kepada anak laki-laki dan perempuan, sehingga tidak timbul kecemburuan yang berujung pada putusnya tali silaturrahmi.

Memang kecenderungan kepada salah satu anak adalah hal yang berada di luar kuasa seorang hamba, termasuk rasa lebih sayang kepada salah satunya.

Syariat juga tidak membebani terhadap hal-hal yang berada di luar kuasa hambanya, namun yang perlu digarisbawahi adalah menunjukkan atau menampakkan secara terang-terangan rasa sayang yang lebih kepada salah satu anak adalah sebuah kezaliman, yang jelas dilarang oleh syariat.

Jikapun rasa sayang yang lebih terhadap salah satu anak itu muncul karena kelebihan yang ia miliki, maka cukup rasa itu berada dalam hati saja, tidak untuk ditampakkan secara zahir kepada anak-anak lainnya, apalagi dengan unsur kesengajaan dengan mengekspresikannya baik dengan perkataan ataupun perbuatan.

Contoh kekeliruan dalam urusan warisan yaitu ketika orang tua lebih condong kepada salah satu anak, dalam hal ini anak perempuan misalnya. Maka ketika masih hidup mereka mencoba untuk merekayasa keadilan (aturan) Allah dengan menjual seluruh harta yang dimilikinya untuk dibagikan secara merata kepada suluruh anak-anaknya.

Hal itu dilakukan karena takut ketika meninggal nanti hartanya akan dibagikan secara aturan syariat, di mana anak perempuan mendapat setengah dari jatah anak laki-laki. Dan pembagian harta tersebut mereka catat sebagai warisan yang tidak boleh diganggu gugat lagi.

Padahal dalam syariat, sebagaimana yang telah penulis sebutkan di atas, hal tersebut masuk dalam kategori hibah, bukan warisan. Motif mereka melakukan hal tersebut di antaranya karena merasa aturan Allah dalam hal warisan tidak adil, sehingga perlu mencari keadilan versi sendiri sesuai dengan hawa nafsunya.

Mereka merasa semua anak-anaknya sama-sama sudah berjasa semasa hidup mereka, sehingga harta harus dibagi sama rata. Padahal kalau mau berfikir sejenak, semua yang telah diatur oleh Allah dan Rasul-Nya dalam hal warisan adalah kebaikan dan keadilan yang sebenarnya.

Ketika Allah mensyariatkan bahwa hak anak perempuan yaitu setengah dari hak anak laki-laki, maka di dalamnya pasti ada hikmah dan tujuan. Di antara hikmahnya adalah, apa yang diterima laki-laki sebenarnya bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, melainkan ada kewajiban untuk menafkahi istri dan keluarganya.

Sebaliknya, jika seorang perempuan menikah maka semua keperluan hidupnya menjadi tanggung jawab suaminya. Sementara warisan yang ia peroleh bisa digunakan untuk keperluan pribadinya.

Lebih dari itu, keadilan akan tercipta jika seluruh keluarga melaksanakan aturan waris yang telah ditetapkan syariat. Karena keadilan (keseimbangan) akan rusak bila salah satu keluarga melanggar dan mengingkari aturan tersebut.

Sebagai ilustrasi, jika seorang laki-laki mendapatkan dua bagian dari warisan lalu dia menikah dengan seorang perempuan yang mendapat satu bagian dari warisan.

Maka, ketika dijumlah, keluarga tersebut mendapatkan tiga bagian dari seluruh harta warisan yang mereka dapatkan dari masing-masing peninggalan harta orang tua mereka dan itu akan berlaku seterusnya untuk semua pasangan keluarga yang menikah.

Namun, ketika satu keluarga mengingkari pembagian harta warisan yang telah diatur syariat dengan membagi sama rata antara laki-laki dan perempuan, maka saat itulah mereka merusak ekosistem (lingkaran) keadilan yang sedang dijalankan Allah.

Sekalipun sebuah keluarga rida dengan pembagian sama rata tersebut, maka lebih utama adalah tetap membagi sebagaimana pembagian yang telah ditetapkan oleh syariat, baru kemudian bermusyawarah untuk disedekahkan atau dihadiahkan kepada saudara lain yang lebih membutuhkan. Hal itu semata-mata untuk menjunjung tinggi aturan syariat dan juga menjadi bukti patuh dan ta’atnya seorang hamba kepada hukum Allah.

Bukan kah Allah ketika berfirman tentang warisan dalam surah an-Nisa ayat 11 menggunakan lafaz, “Allah telah mewasiatkan, yaitu mensyariatkan dengan menetapkan langsung bagian-bagian tertentu dalam pembagian harta warisan, meliputi dua bagian untuk anak laki-laki dan satu bagian untuk anak perempuan? Kenapa Allah tidak mewasiatkan untuk bermusyawarah terlebih dahulu dalam pembagiannya? Tentu itu merupakan sebuah isyarat, bahwa Allah ingin menegaskan, Dia Maha Tahu akan kemaslahatan dan Maha Tahu apa yang menjadi kebaikan untuk hamba-hambanya.

Kita berdoa kepada Allah, Dzat yang Maha Adil agar menganugerahkan di sisa umur kita ini prasangka baik, kepatuhan dan ketaatan dalam menjalankan seluruh aturan yang telah disyariatkan-Nya.

Semoga Allah tidak memasukkan kita ke bagian orang-orang yang mengingkari, apalagi ingin menggugat aturan-Nya. Sehingga ketika ajal tiba, maka pada saat itu kita telah melaksanakan seluruh aturan syariat dengan rasa ikhlas dan rida, semata-mata mengharapkan perjumpaan dengan-Nya. Amin ya rabbal ‘alamin. []

*) Penulis adalah mahasiswa program doktoral dari University of Malaya

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *