Warga Plu Pakam Gugat Perbup Batas Wilayah ke Mahkamah Agung

waktu baca 4 menit
Dok. progres bendungan Keureuto tahun 2019 silam. (Foto: KemenPUPR)
banner 72x960

Theacehpost.com | ACEH UTARA – Warga Plu Pakam di Kecamatan Tanah Luas, Aceh Utara, menggugat kebijakan terbaru Bupati Aceh Utara terkait batas wilayah gampongnya dengan Gampong Blang Pante, Kecamatan Paya Bakong.

Kebijakan itu berupa Peraturan Bupati Aceh Utara Nomor 1 Tahun 2021, mengenai penetapan, penegasan dan pengesahan batas wilayah kedua gampong tersebut. Gugatan uji materiil terhadap peraturan ini resmi diajukan ke Mahkamah Agung di Jakarta pada Kamis lalu, 14 Oktober 2021.

Sekretaris Asosiasi Perangkat Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Tanah Luas, Mulya Saputra membenarkan langkah hukum masyarakat Plu Pakam. “Ini langkah yang tepat dan terukur untuk mencapai keadilan yang selama ini sulit didapatkan,” ujarnya dalam keterangan pers yang diterima Theacehpost.com, Jumat 15 Oktober 2021.

Perbup 1/2021 ini digugat lantaran dianggap telah mengabaikan Krueng Keureuto yang selama ini menjadi batas alam antara kedua gampong. Akibatnya, sebagian wilayah Dusun Biram yang tadinya terletak di Gampong Plu Pakam, kini bergeser ke wilayah gampong tetangganya, Blang Pante.

Sementara obyek ganti rugi yang jadi sengketa akibat terbitnya Perbup ini merupakan eks wilayah Hak Guna Usaha PT Satya Agung, yang meliputi Kecamatan Meurah Mulia dan Tanah Luas.

“Lahan eks perusahaan di Gampong Plu Pakam ini telah lama ditelantarkan, lalu dimanfaatkan oleh masyarakat setempat dengan Surat Keterangan Tanah yang diterbitkan Pemerintah Gampong Plu Pakam sejak 2009,” urainya.

Mulya menduga kuat, terbitnya Perbup ini disinyalir upaya segelintir kalangan yang ingin mengambil keuntungan dari ganti rugi lahan Proyek Strategis Nasional Waduk Keureuto. Seperti diketahui, Gampong Plu Pakam termasuk satu dari sejumlah gampong yang terdampak proyek ini.

Hilangnya Hak Ganti Rugi

Mulya menceritakan, sejak proyek pembangunan Waduk Keureuto dimulai tahun 2015, sudah terjadi dua tahap pembayaran ganti rugi. Untuk wilayah bantaran sungai eks HGU PT Satya Agung, ganti ruginya dibayarkan kepada masyarakat Plu Pakam yang menggarap lahan tersebut.

“Anehnya, melalui Perbup 1/2021, wilayah pedalaman Dusun Biram yang menjadi objek ganti rugi tahap ketiga, dikeluarkan dari Gampong Plu Pakam dan menjadi wilayah Gampong Blang Pante yang terletak di seberang sungai,” terangnya.

Akibat pergeseran letak Dusun Biram, hak garap dan hak ganti rugi masyarakat Plu Pakam atas tanah tersebut pun menjadi hilang. Pemerintah Gampong Blang Pante belakangan menerbitkan SKT untuk warganya sendiri.

Mulya menyebut berbagai kerancuan ini terjadi ditengarai adanya oknum yang ingin mengambil manfaat ganti rugi tahap ketiga ini. Pihaknya bersama warga Plu Pakam pun memilih untuk membawa perkara ini ke Mahkamah Agung.

Selama ini, menurutnya tidak ada langkah konkret dalam penyelesaian sengketa tapal batas antara Gampong Blang Pante dengan Plu Pakam. Beberapa waktu lalu, masyarakat Plu Pakam membacakan surat terbuka kepada Presiden Jokowi.

“Alhamdulillah viral, sehingga ada respons dari pusat. Lima pengacara nasional pun bersedia mengadvokasi kasus kita dan mulai membantu kasasi di MA,” ujarnya.

Apa Saja yang Dilaporkan?

Dalam upaya advokasi ke pusat, warga Plu Pakam mempersoalkan beberapa hal mengenai sengketa ini. Selain uji materiil terhadap Perbup 1/2021, mereka juga melaporkan adanya dugaan kesepakatan jahat dan mafia tanah ke Mabes Polri.

“Warga juga melapor adanya dugaan gratifikasi dan korupsi terkait masalah ini ke KPK,” kata Mulya.

Warga Plu Pakam menyesalkan potensi ketidakpastian hukum terhadap banyak peraturan dan surat keputusan lainnya akibat Perbup tersebut, di antaranya SHGU No. 5/1986 atas nama PT Satya Agung.

Surat ini secara eksplisit menyebutkan Kecamatan Tanah Luas dan Kecamatan Meurah Mulia, bukan Kecamatan Matang Kuli yang merupakan induk dari Kecamatan Paya Bakong (letak Gampong Blang Pante), sebelum kecamatan tersebut dimekarkan berdasarkan Perda Aceh Utara Nomor 11/2001.

Tak hanya itu, Perbup itu juga diduga telah mengabaikan SK Bupati Aceh Utara pada 2017 silam, soal lokasi pengadaan tanah untuk Waduk Krueng Keureutoe di Paya Bakong dan Tanah Luas.

“Wilayah bantaran sungai Keureuto bagian Gampong Plu Pakam dibayarkan ganti ruginya kepada petani penggarap yang mengantongi SKT yang diterbitkan oleh Gampong Plu Pakam,” rincinya.

Selain itu, Perbup tersebut telah menihilkan SK Bupati Aceh Utara tahun 2020 tentang penetapan lokasi pengadaan tanah tahap ketiga. Surat ini memasukkan wilayah pedalaman Dusun Biram ke Gampong Plu Pakam beserta daftar penerima ganti rugi berdasarkan SKT yang diterbitkan oleh desa itu.

“Patut dicurigai Perbup ini memiliki motif untuk menguntungkan dan memperkaya sekelompok pihak, dan merugikan pihak yang lainnya,” kata Mulya.

Selain melakukan uji materiil ke MA, masyarakat Plu Pakam juga bakal melaporkan ke Bareskrim Mabes Polri mengenai dugaan adanya pemalsuan dokumen. Mulya menjelaskan, Berita Acara Kesepakatan yang menjadi dasar Perbup tersebut diduga telah dibuat dengan memalsukan tanda tangan para pihak.

“Beberapa pihak yang tanda tangannya muncul di surat kesepakatan itu telah mengeluarkan pernyataan di atas materai bahwa mereka tidak pernah menandatangani apa pun, selain absensi rapat,” tegasnya.

Mereka juga akan menyambangi Komisi Pemberantasan Korupsi, melaporkan dugaan tindakan korupsi dengan  motif memperkaya diri sendiri atau orang lain akibat munculnya Perbup 1/2021 ini.[]

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *