Video Sikundo Itu, Upaya Mengecilkan ‘Akrobatik’ Kampar

waktu baca 3 menit
Kolase foto dari dokumen berbeda, jembatan tali dan bocah SD bergelantungan menyeberangi sungai. (Tangkapan layar iNewsTV dan sumber medsos)
banner 72x960

DALAM tiga hari terakhir jagat maya kita dihebohkan dengan video ‘akrobatik’ tiga bocah berseragam SD yang menyeberang sungai dengan cara bergelantungan di keranjang sawit yang terkait dengan bentangan tali (waja?).

Video berdurasi 29 detik itu menyedot perhatian luar biasa. Media massa (utamanya media siber) berlomba mencari pembenaran video itu.

Mungkin Anda sempat menonton tayangan video berdurasi 29 detik yang menyebar di jejaring medsos sejak beberapa hari terakhir.

Video tak ubahnya aksi akrobat itu memperlihatkan tiga bocah berseragam SD – dua perempuan satu laki-laki—menyeberang sungai dengan cara bergelantungan pada keranjang yang terkait pada bentangan tali.

Video viral itu hanya mencantumkan keterangan singkat tentang anak SD menyeberang sungai di Kampar, Riau.

Tak butuh waktu lama. Media ini juga mendapatkan informasi yang bersumber dari Tim Aksi Cepat Tanggap (ACT).

Ternyata lokasi pengambilan video tiga bocah SD itu di Desa Kuntu, Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.

“Daerah dalam video itu memang bukan akses umum melainkan akses kebun sawit beserta tempat tinggal para buruhnya,” begitu tulis ACT Riau terkait hasil validasi ke lokasi.

Anak-anak dalam video itu pun merupakan anak-anak buruh yang bekerja di kebun tersebut.

Keranjang yang terkait ke bentangan tali juga bukan untuk kepentingan umum melainkan milik seorang pekebun untuk menyeberangkan TBS (tandan buah segar) sawit. Namun anak-anak melihat ‘infrastruktur’ tersebut bisa dimanfaatkan sebagai jalan pintas.

Naluri anak-anak memang beda dengan naluri orang tua. Mereka tak tahu arti bahaya. Mereka cuma pingin asyik. Maka muncullah video dramatis itu. Jagat maya pun geger.

Video lama

Belum reda heboh video murid SD Kampar Kiri, tiba-tiba di jejaring medsos muncul pula video jembatan tali yang merentang di atas aliran sungai berarus deras.

Video itu memperlihatkan masyarakat yang bertaruh nyawa melintas di atasnya. Ada ibu-ibu yang menggendong bayi, orang tua, dan anak-anak sekolah. Pokoknya sangat mengerikan.

Tak sulit mencari pertanggungjawaban asal-usul video tersebut. Itu merupakan jejak digital dari reportase salah satu stasiun televisi swasta sekitar dua tahun lalu.

Jembatan tali yang merentang di atas aliran sungai Krueng Meureubo itu digunakan oleh warga Desa Sikundo dan Desa Jambak, Kecamatan Pante Ceureumen, Aceh Barat.

Berdasarkan penelusuran media ini di jejerang medsos, hampir tak ada yang menyebutkan atau menulis caption bahwa jembatan tali di atas aliran sungai berarus deras itu adalah temuan baru atau berita baru.

Kebanyakan hanya menulis, “lebih dahsyat yang ini”.

Tulisan pengantar tersebut sehubungan viralnya video bocah SD Kampar Kiri. Bahasa kasarnya, “nggak seberapa itu jika dibandingkan dengan yang ini.” Meski video pembanding adalah barang lama.

Lepas dari saling lomba dahsyat antara ‘Kampar Kiri dan Sikundo’, ternyata Pemerintah Aceh melalui Kepala Biro Humas dan Protokol-nya,  Muhammad Iswanto merasa perlu ‘meluruskan’ ihwal video jembatan tali (sling) di Sikundo itu.

Meski Iswanto berkeyakinan masyarakat tidak termakan lagi dengan isu-isu negatif yang sengaja dibangun oleh oknum-oknum tertentu, tetapi dia menjelaskan juga kepada wartawan bahwa pembangunan jembatan Sikundo dilakukan secara bertahap dan telah selesai pengerjaannya pada 2018.

Dan, masyarakat pun–seperti diyakini Muhammad Iswanto—pasti sudah tahu tentang video jembatan tali itu bukan sesuatu yang baru.

Tetapi, itu tadi, karena ada video bocah SD di Kampar Kiri, maka bagi yang merasa tak mau kalah langsung saja mengeluarkan stok lama-nya, Sikundo.

Seharusnya, kita tak perlu lagi menanggapi. Bukankah ada pameo, bek ta kheun taloe meu seri han ditem (jangankan kalah, seri pun nggak mau).

Video Sikundo yang tiba-tiba muncul kembali menjadi bukti kalau pameo itu masih ada dan berusaha dihidupkan dalam keseharian. Meski terkadang referensi yang dipakai tidak kontekstual. []

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *