Uang Kopi di Negeri Para Raja | Part 2

Bagian II: Gerakan Rakyat

Meski kata “uang kopi” mulai memudar, para mafia proyek belum mau mundur. Mereka hanya mengganti cara bermain. Kini mereka berlindung di balik yayasan, lembaga kemitraan, dan nama-nama lembut seperti “Forum Pembangunan Syariah”—tapi isinya tetap tikus-tikus berkemeja.

banner 72x960

Imran menyadari perubahan itu. Bersama para santri dan pemuda kampung, ia mulai membentuk majelis-majelis ilmu yang bukan hanya bicara soal akhirat, tapi juga keadilan sosial. Mereka mengajak warga memahami hak-hak mereka: tentang dana desa, proyek pembangunan, dan pentingnya transparansi.

Madrasah Al-Faruqi menjadi pusat gerakan itu. Di sana, warga belajar membaca, menulis, dan menimbang kebenaran. Dari sana pula lahir brosur, pamflet, dan ceramah-ceramah yang membongkar kejanggalan di balik proyek-proyek mewah yang tak pernah selesai.

Pemerintah mulai panik. Penasihat istana menyarankan untuk menangkap Imran dengan tuduhan menghasut rakyat. Tapi Sultan Malik menolak. Ia masih dihantui rasa malu dari pertemuan mereka yang lalu.

Namun, mafia proyek tidak tinggal diam. Mereka mulai menyebar fitnah. Ada yang mengatakan Imran bersekongkol dengan negeri asing. Ada yang menyuap tokoh desa agar memecah belah majelis. Bahkan ada yang mencoba membakar madrasah di malam buta—tapi warga berjaga dan menggagalkannya.

Hari demi hari, suara rakyat makin besar. Di pasar-pasar terdengar lagu-lagu sindiran. Di warung kopi, puisi-puisi tentang keadilan dibacakan. Di masjid, para khatib mulai berani menyelipkan ayat-ayat tentang amanah dan pengkhianatan.

Akhirnya, puncaknya terjadi di bulan Safar. Rakyat dari berbagai kampung berkumpul di depan istana. Mereka datang bukan dengan senjata, tapi dengan kitab dan bambu runcing bertuliskan “Amar Ma’ruf Nahi Munkar”.

Sultan Malik melihat dari jendela istana. Ribuan orang memenuhi halaman. Ia tahu, kekuasaannya tinggal nama.

Seorang tua dari Kampung Padang datang ke pintu istana membawa segenggam tanah dan berkata, “Wahai Raja, kami hanya ingin pemimpin yang mencium tanah ini, bukan menjualnya.”

Rakyat menuntut satu hal: pengunduran diri.

Sultan Malik akhirnya turun dari takhta. Ia memilih tinggal di sebuah rumah kecil dekat makam ayahandanya, Sultan Mahmud. Di sana, ia mulai hidup sebagai rakyat biasa—belajar mencangkul, membaca Al-Qur’an tanpa tafsir politik, dan perlahan menjadi manusia yang ia tahu seharusnya ia jadi sejak dulu.

Kerajaan tidak runtuh, tapi berubah. Dewan Rakyat dibentuk. Imran tidak menjadi raja, tapi ditunjuk sebagai penasihat utama bidang pendidikan dan pembangunan.

Uang kopi pun tak benar-benar hilang, tapi kini setiap warga tahu cara menolaknya. Anak-anak yang dulu belajar di Madrasah Al-Faruqi tumbuh menjadi guru, insinyur, petani, dan pemimpin baru.

Dan Negeri Para Raja kembali menjadi negeri yang teduh. Bukan karena raja yang hebat, tapi karena rakyat yang melek, jujur, dan berani berkata tidak.

Sebab sejatinya, kekuasaan bukan di singgasana, tapi di hati yang takut kepada Tuhan dan cinta kepada sesama.

Komentar Facebook