Tolak Laporan Korban Karena Alasan Vaksin, Kinerja Polisi Dipertanyakan

waktu baca 5 menit
Ilustrasi kekerasan seksual. (Pixabay)

Theacehpost.com | BANDA ACEH – Kepolisian Resor Kota Banda Aceh dikabarkan menolak laporan korban percobaan pemerkosaan lantaran belum divaksin. Kejadian ini lantas menyita perhatian publik.

Sebelumnya, tindak pidana percobaan pemerkosaan menimpa SA (19), mahasiswi yang tinggal di Aceh Besar. Kasus itu terjadi Minggu, 17 Oktober 2021 sekitar pukul 16.45 WIB.

Dalam kesaksian yang disampaikan pendamping hukumnya dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, SA saat itu hanya tinggal seorang diri di rumahnya. Tiba-tiba seorang laki-laki tak dikenal lalu menyusup paksa, membekap dan nyaris memperkosanya.

Dalam keadaan panik dan ketakutan, SA bergegas lari dan terus melawan sehingga mengakibatkan kepala korban terbentur ke dinding rumah dan terjatuh ke sebuah meja kecil hingga tak sadarkan diri. Tak lama, suara sepeda motor ibu korban terdengar dari depan rumah, pelaku pun sontak melarikan diri.

Keesokan harinya, Senin 18 Oktober 2021, korban mendatangi kantor LBH Banda Aceh bersama keluarga dan kepala dusun tempat tinggalnya, meminta pendampingan hukum terkait peristiwa tersebut. Kasus ini kemudian dilaporkan ke Polresta Banda Aceh.

banner 72x960

“Sesampai di Polresta, korban beserta keluarga dan pendamping hukumnya tidak diizinkan masuk untuk membuat laporan, karena korban dan ibunya tidak dapat menunjukkan sertifikat vaksin,” kata Muhammad Qodrat, Kepala Operasional LBH Banda Aceh, Selasa 19 Oktober 2021.

Padahal korban dan ibunya telah menjelaskan kepada polisi, bahwa korban memiliki penyakit sehingga ia tidak bisa divaksin, dan surat keterangan dokter tentang status kesehatan itu tidak dibawanya.

“Pihak kepolisian tetap bersikeras bahwa korban harus menunjukkan sertifikat vaksin atau surat keterangan tidak dapat divaksin jika ingin laporannya diterima,” kata Qodrat.

Lebih lanjut korban juga berusaha menceritakan kronologi singkat peristiwa yang dialaminya ke petugas SPKT Polresta Banda Aceh, namun kata Qodrat, polisi meresponnya dengan ragu. Lantaran melihat korban yang tertekan dengan sikap dan perilaku petugas tersebut, pendamping LBH lalu mengajaknya untuk melapor ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polda Aceh.

Qodrat membeberkan, pelaporan itu diterima oleh petugas unit PPA Polda Aceh tanpa harus menunjukkan sertifikat vaksin ataupun surat keterangan dokter.

“Akan tetapi petugas unit PPA Polda Aceh menolak menerbitkan Surat Tanda Bukti Lapor (STBL) dengan alasan identitas dan ciri-ciri terlapor tidak dapat diketahui dengan jelas,” tuturnya.

Kabag Ops Polresta Banda Aceh, AKP Iswahyudi dalam klarifikasinya kepada awak media, Rabu 20 Oktober 2021 membantah telah menolak laporan korban.

“Tidak ada laporan yang ditolak, informasi ini perlu kami luruskan supaya tidak terjadi kesalahpahaman,” tegasnya.

Menurut Iswahyudi, pihaknya telah memasang aplikasi barcode vaksinasi Covid-19 di tiap ruangan kantor. Siapa pun yang masuk ke situ, kata dia, wajib menunjukkan sertifikat vaksin kecuali dalam keadaan insidentil.

Hingga berada di ruang SPKT pun, lanjut Iswahyudi, korban tak kunjung menunjukkan surat keterangan medis terkait status vaksinasinya. Sehingga petugas tetap mengarahkannya untuk bisa memberikan bukti medis tersebut, minimal bukti fotonya.

“Jadi tidak ada penolakan,” ucapnya lagi.

Potensi Langgar HAM hingga Abaikan Tupoksi Polri

Dalam pernyataan persnya, LBH Banda Aceh mengecam keras tindakan petugas Polresta Banda Aceh yang menolak laporan masyarakat dengan alasan belum divaksin.

“Sepanjang penelusuran kami, tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan yang menjadikan sertifikat vaksin sebagai syarat untuk membuat laporan polisi. Sertifikat vaksin seharusnya tidak boleh dijadikan syarat agar masyarakat mendapatkan haknya untuk memperoleh akses terhadap keadilan (access to justice),” terang Kepala Operasional LBH Banda Aceh, Muhammad Qodrat.

Pemberlakuan syarat tersebut lantas dianggap bertentangan dengan hukum dan hak asasi manusia, khususnya hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di depan hukum.

Qodrat menekankan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di depan hukum merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun (non derogable rights).

“Termasuk oleh kepolisian dalam keadaan pandemi seperti sekarang ini. Oleh karena itu, LBH Banda Aceh mendesak agar pihak kepolisian bekerja lebih profesional dan humanis, sehingga kejadian ini tidak terulang lagi di masa yang akan datang,” desaknya.

Hal lainnya, Qodrat juga menyayangkan tindakan petugas Unit PPA Polda Aceh yang menolak menerbitkan STBL dengan alasan identitas dan ciri-ciri terlapor tidak diketahui dengan jelas.

Menurut dia, penolakan itu bertentangan dengan ketentuan Pasal 108 ayat (6) Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KHAP) jo Pasal 3 ayat (4) Perkap Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, yang menentukan bahwa pelapor berhak menerima surat tanda bukti lapor model B dari kepolisian setelah membuat laporan.

“Upaya untuk menemukan pelaku dugaan tindak pidana, sejatinya merupakan tugas penyidikan dari pihak kepolisian yang tidak dapat dibebankan kepada pelapor. Jadi alasan menolak menerbitkan STBL karena identitas dan ciri-ciri terlapor yang tidak diketahui, merupakan alasan yang tidak sah secara hukum dan telah merugikan hak-hak pelapor sebagai korban,” tuturnya.

Di sisi lain, Ketua Kelompok Advokasi Pembela Rakyat (KAPRa) Aceh, M Arief Hamdani, menilai tindakan Polresta Banda Aceh sebagai pelanggaran terhadap tugas dan fungsi kepolisian.

Sebagai abdi negara, kata Arief, polisi harusnya menjalankan tugasnya dalam pelayanan, pelindung dan pengayom masyarakat.

“Tupoksi ini bisa terabaikan jika hanya gara-gara ada pelapor yang belum divaksin,” ujar Arief dalam keterangannya, Rabu 20 Oktober 2021.

Pembina KAPRa, Erizar Rusli juga menambahkan, penegakan hukum seharusnya menjadi prioritas dalam memberikan kepastian hukum bagi masyarakat.

“Jangan sampai kartu vaksin bisa mengalahkan kepastian hukum,” imbuhnya.

Sebagai aparat penegak hukum, lanjut Erizar, seharusnya polisi mengutamakan kepastian hukum, baru di sisi lain memberikan saran untuk vaksinasi.

“Bukan malah abai dalam memberikan kepastian hukum. Jangan  menjadikan kartu vaksin sebagai syarat untuk mendapatkan pelayanan publik dalam hal ini kepastian hukum, tentu hal ini sangat bertentangan dengan sistem dan konsep negara hukum,” tutupnya. []

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar

Sudah ditampilkan semua