Tanda Tangan

waktu baca 3 menit
Sulaiman Tripa
banner 72x960

Oleh: Sulaiman Tripa

KEJADIAN semacam ini, sering terjadi. Meneken atas nama orang lain. Dengan tanpa izin. Ada tanda tangan yang dilakukan dengan izin. Walau dalam realitas, tetap bisa permasalahkan. Tanda tangan itu sebagai pertanda persetujuan, dengan tanda tertentu. Dengan demikian, persetujuan bisa saja dilakukan dengan tanpa tanda tangan. Masalahnya tidak semua akan menganggap absah persetujuan tanpa tanda tangan tersebut.

Tanda menjadi bukti. Jika kemudian hari ada masalah tertentu. Tapi dalam hukum, jangan lupa, jika tanda tangan dilakukan orang lain, mau setuju atau tidak, tetap ada masalahnya. Semua posisi sangat penting didalami.

Dalam kehidupan nyata, di tempat saya, ada tanda tangan tidak sah yang terjadi. Ada seorang yang sedang menuntut ilmu, meneken seolah-olah persetujuan dosennya. Ada satu kepentingan sederhana, hanya untuk lembar penyerahan karya tulis. Sekali lagi, hal yang sederhana.

Setiap mereka yang berada di kampus, pada akhirnya harus menyerahkan satu eksamplar karya tulis, dan ada tanda terimanya. Setiap penerima membubuhkan tanda tangan. Bukankah dapat disimpulkan sebaliknya. Jika ada orang yang meneken orang lain, menggunakan bukti itu untuk administrasi, padahal realitasnya karya tulis belum diserahkan?

Saya tidak ingin melihat kasus itu secara mandiri. Tapi keberanian orang dalam meneken, itu saya kira jauh lebih penting. Jangan-jangan selama ini, teken-meneken punya orang lain sudah dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Menggunakan tanda tangan orang lain, untuk kepentingan kita. Lalu jika kita ada kendala untuk sampai pada hajatan tertentu, dengan mudah pula diminta bantu orang lain untuk menekennya. Kehadiran dalam kelas, menjadi contoh lain.

Saya ingat suatu kali, saat kuliah, profesor saya marah besar saat mengetahui ada mahasiswa yang menitip teman untuk meneken daftar hadir. Apa untungnya membiarkan sekali dua absen dalam daftar hadir? Dibandingkan dengan moralitas yang benar-benar seperti tergadai?

Kejadian ini saya anggap sebagai moral. Biasanya sanksinya bisa lebih berat dari peraturan. Moral ini, kalau kita dalami sebagai istilah filsafat, ia sama pada posisi etika. Etis. Nilai-nilai yang berada pada posisi etika itu, sama-sama dipegang sebagai pegangan bagi siapa pun dalam menjaga tingkah lakunya.

Moralitas berbicara tentang hal yang baik dan buruk. Ketika seseorang tidak menggunakan nilai ini sebagai alat ukur, pada dasarnya sudah tidak bisa membedakan lagi antara sesuatu yang baik dan sesuatu yang buruk. Bisa dibayangkan ketika perilaku sudah tidak ada standar. Apalagi ketika perilaku yang memalukan dan memilukan, seperti tidak ada beban untuk dilakukan.

Ketika sudah pada posisi tidak menganggap ada masalah, sepertinya mental sudah digerogoti secara masif. Orang yang seperti itu, sudah tidak pada tempatnya bisa dipercayakan dalam hal apa pun. Posisi ini akan mengalir kepada orang-orang yang membiarkan hal itu terus terjadi. []

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar

Sudah ditampilkan semua