Sosok Azwir Nazar di Media Jepang

waktu baca 4 menit
Azwir Nazar (kiri) bersama Pemred Theacehpost.com, Nasir Nurdin.
banner 72x960

Catatan Theacehpost.com

SEBUAH harian tertua di Jepang, The Tō-Ō Nippō Press meliput secara eksklusif kisah inspiratif seorang pemuda Aceh bernama Azwir Nazar, asal Aceh Besar. Dedikasi dan perjuangan hidup Azwir dianggap menarik dan penuh makna bukan saja bagi tanah kelahirannya, namun juga menginspirasi masyarakat dunia.

Sebagai korban tsunami Aceh, 26 Desember 2004, Azwir berhasil bangkit hingga mendapatkan beasiswa kuliah S3 bergengsi Pemerintah Turki sejak 2013 di Hacettepe University, Ankara. Sedangkan S1-nya diselesaikan pada jurusan Tadris Bahasa Arab UIN Ar-Raniry (2007), dan S2 Komunikasi Politik Universitas Indonesia (UI) pada 2010 di Jakarta.

“Kami datang khusus ke Aceh untuk meliput Pak Azwir Nazar,” ujar Kepala Biro Umum Kyodo Internasional Jepang, Mr. Kentaro Okada yang datang ke Banda Aceh bersama tim.

Okada menceritakan, mereka mendengar kisah Pak Azwir dan Cahaya Aceh yang inspiratif dari sebuah kampung tsunami. “Kami sangat senang dan ingin mengabarkan kepada anak-anak dan masyarakat di Jepang,” lanjut Okada.

Setelah lebih 16 tahun tsunami meluluhlantakkan Aceh yang mengakibatkan lebih 220.000 orang meninggal dan hilang, Azwir mampu bangkit dan memberikan sesuatu untuk tanah kelahirannya yang juga nyaris lenyap ditelan bencana.

“Pascatsunami, Azwir yang pernah tinggal di Jakarta dan Turki pulang kampung membangun sebuah balai sederhana. Itu sangat menarik, sambung Kentaro Okada.

Di media berbahasa Jepang terbitan 24 Desember 2020 yang kemudian dimuat lagi di versi online disebutkan, Azwir yang tinggal dengan adaiknya, Mushalin (23) tetap semangat untuk meraih mimpi.

Azwir dikenal berprestasi dan aktif di diberbagai organisasi pelajar, mahasiswa, dayah, kepemudaan hingga aktivis kemanusiaan. Dia juga pernah bekerja di beberapa NGO baik lokal maupun internasional saat rehab rekons Aceh pascatsunami.

Ketika masih kuliah S1, Azwir pernah menjadi pembicara dalam Internasional Peace Conference di Korea Selatan pada Mei 2006 serta Internasional Solidarity Mission to Mindano, Oktober 2008 di berbagai kota di Filipina.

Tak berhenti di sana, di Turki pun pria sederhana dan suka ziarah ke makam para Nabi dan Wali ini juga menjadi Presiden Pelajar Indonesia di Turki.

Peran penting Azwir saat mengadvokasi para pelajar yang terdampak kudeta Turki tahun 2006 telah membuatnya sangat populer baik di kalangan para pelajar Indonesia di seluruh dunia maupun masyarakat Indonesia di Tanah Air.

Dirikan Cahaya Aceh

Tak lantas melupakan Aceh, tanah kelahirannya, Azwir kemudian mendirikan Yayasan Cahaya Aceh sebagai spirit tsunami.

Melalui kampanye di media sosial, Cahaya Aceh kemudian membangun satu balai edukasi dan Taman Baca gratis bagi anak-anak dan warga yang ingin belajar. “Ya, alhamdulillah sudah tiga tahun Yayasan Cahaya Aceh berkiprah,” kata Azwir.

Bersyukur banyak anak anak muda Aceh yang terlibat dan mau berkontribusi dengan mengajar adik-adik secara sukarela.

“Langkah-langkah kecil ini harus terus kita ayunkan, sehingga Cahaya Aceh dapat dirasakan manfaat dan dikenal oleh masyarakat,” ujarnya.

Balai Cahaya Aceh yang berkontruksi kayu didirikan Azwir bersama teman- temannya dengan arsitektur Aceh seperti rumah panggung. Di atasnya dijadikan sebagai pusat belajar dan di lantai dasar untuk pustaka dan aktivitas pendukung lainnya.

Di Cahaya Aceh, anak-anak usia 5-15 tahun belajar Quran, Bahasa Arab, Inggris, Turki, menari, melukis, memanah, dan lain-lain. Juga digunakan untuk pembinaan dan pengajian ibu-ibu dan masyarakat umum. Semuanya gratis!

Harian The Tō-Ō Nippō Press yang terbit pertama sekali 6 Desember 1888 di Provinsi Amouri, Jepang juga mengulas kisah heroik Founder Cahaya Aceh tersebut yang memulai hidup di tenda usai selamat dari tsunami dengan tidak berputus asa dan kemudian bangkit menyalakan lilin perubahan.

“Alhamdulillah saya bersyukur dapat kuliah hingga ke Turki dan dapat mengelilingi banyak tempat di dunia. Saya ingin adik-adik kita di kampung, yang ekonominya kurang beruntung, yang yatim dapat memperoleh pendidikan lebih baik dan akhlak yang terpuji,” begitu obsesi Azwir.

Prinsip hidup yang ditanamkannya, tak perlu menyalahkan keadaan, jangan putus asa dan jangan terlalu bergantung pada pemerintah. Saatnya kita berpikir apa yang dapat kita berikan untuk sesama.

“Mulailah dari yang kecil dan sederhana. Insya Allah akan banyak manfaat,” tutur Azwir.

Seperti orang Jepang yang pantang menyerah, sebenarnya orang Aceh dulu juga begitu. Banyak berkorban, selalu berjuang. Tantangan pasti ada. “Itu namanya hidup,” begitu sering diucapkan Azwir saat memotivasi siapa saja yang kini bersamanya di Cahaya Aceh. []

 

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *