Skandal Appendix dan Kewenangan DPRA
Oleh Syakya Meirizal *)
KEBERADAAN nomenklatur anggaran berkode appendix (KBBI: tambahan/lampiran/susulan/sematan) Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2021 pada sejumlah SKPA telah menjadi sorotan luas di tengah masyarakat Aceh.
Anggaran appendix disebut sejumlah pihak sebagai anggaran siluman. Karena pengusulan anggaran tersebut tidak ditempuh melalui mekanisme penyusunan APBA secara normal.
Anggaran ini tidak pernah diusulkan dalam Musrenbang, tidak tercatat dalam dokumen RKPA, KUA-PPAS dan RAPBA yang diajukan Gubernur Aceh ke DPRA.
Bahkan, menurut pengakuan sejumlah Anggota DPRA, anggaran ini tidak pernah dibahas bersama dengan Banggar DPRA.
Ada dugaan anggaran appendix ini diinput sepihak oleh Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) saat koreksi hasil evaluasi Mendagri terhadap APBA 2021.
Di sisi lain tersiar kabar bahwa anggaran appendix ini merupakan anggaran yang diplot khusus untuk memenuhi kebutuhan biaya politik sejumlah pejabat yang akan maju pada Pilkada 2024 mendatang.
Masyarakat Pengawal Otsus (MPO) Aceh mendesak DPRA agar menggunakan kewenangannya untuk membongkar anggaran siluman yang berkode appendix tersebut secara tuntas.
Kita mendesak DPRA tidak ragu menggunakan kewenangan yang dimiliki untuk membongkar skandal appendix ini.
DPRA dapat menggunakan hak angket untuk menyelidiki dan mengungkapkan skandal ini secara utuh dan terang benderang kepada publik. Apalagi skandal ini adalah bentuk pelanggaran serius terhadap Permendagri No. 64 Tahun 2020 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2021.
Panggil siapa saja yang terlibat dalam penyusunan APBA 2021, baik dari TAPA, SKPA maupun dari Banggar DPRA. Dengan demikian akan terungkap kronologis lengkap bagaimana anggaran siluman appendix ini bisa menyusup dalam APBA 2021.
Yang lebih penting lagi adalah mengungkap siapa saja aktor yang memberi perintah dan terlibat langsung dalam skandal yang lebih tepat disebut sebagai perampokan terhadap uang rakyat Aceh ini.
Nama-nama mereka harus diumumkan kepada publik secara terbuka.
DPRA juga wajib melaporkan semua “aktor appendix” tersebut kepada aparat penegak hukum jika ditemukan bukti yang mengarah pada perbuatan pidana.
Jika DPRA terkendala kuorum untuk melaksanakan hak angket, kita mendorong minimal mereka harus membentuk Pansus untuk menunjukkan keseriusan pada publik dalam membongkar skandal appendix ini.
Jika dibiarkan, ini akan menjadi preseden buruk bagi masa depan tata kelola anggaran dan tata kelola pembangunan yang ada di Aceh.
Bagi publik, skandal appendix ini adalah bentuk kejahatan kemanusian pada seluruh rakyat Aceh, terutama masyarakat duafa.
Bayangkan, demi kepentingan menyusupkan anggaran siluman appendix dalam APBA 2021, sebanyak 3.700 unit rumah layak huni untuk duafa dicoret.
Mereka tega mengorbankan nasib rakyat miskin demi hasrat memperkaya diri dan melanggengkan kekuasaan. Jelas kejahatan terstruktur dan sistematis terhadap uang rakyat ini tidak bisa didiamkan begitu saja!
Karena itu saya mengingatkan agar Anggota DPRA jangan memposisikan diri seperti LSM yang hanya sebatas berbicara di media.
Ingat! DPRA itu punya otoritas kuat yang dilindungi konstitusi untuk mengungkapkan mega skandal ini. Segera gunakan kewenangan yang dimiliki, jangan hanya sebatas beropini.
Saatnya tunjukkan bahwa DPRA itu benar-benar representasi kepentingan rakyat. Bukan justru berkomplot dengan para pejabat yang terlibat skandal appendix dalam merampok uang rakyat.
*) Penulis adalah Koordinator Masyarakat Pengawal Otsus (MPO) Aceh