Qanun LKS, Penghindar Dosa dan Harus Disegerakan

waktu baca 4 menit
Mahasiswi Perbankan Syariah, IAIN Langsa, Lena Farsiyah.

Oleh: Lena Farsiyah 

Wacana penundaan Qanun (Peraturan Daerah) Lembaga Keuangan Syariah (LKS) menimbulkan ketidaksetujuan masyarakat, khususnya mahasiswa. Qanun LKS  merupakan keistimewaan Aceh dan tidak dimiliki oleh daerah lain. 

Aceh ini punya keistimewaan dari Allah SWT. Islam sampai pertama di sini dan lahir para ulama-ulama besar juga, bahkan mendapatkan label “keistimewaan” dari negara.

Qanun Nomor 11 tahun 2018 tentang LKS ini menerapkan semua lembaga keuangan harus berlandaskan hukum syariat Islam, sehingga Qanun LKS ini penting diketahui masyarakat luas.

Sosialisasi pun tengah digencarkan. Tak hanya tentang Qanun LKS, peraturan daerah lainnya juga dikampanyekan, seperti Qanun Hukum Jinayah dan Qanun Aceh tentang Sistem Jaminan Produk Halal.

banner 72x960

Penerapan syariat di Aceh tidak radikal, karena itu dilakukan bertahap agar bisa diterima. Implementasi Qanun LKS, tugas kita mencegah kemungkaran riba, dan jika pun nantinya masih berhadapan dengan hambatan dan tantangan, maka Allah menyuruh kita (termasuk pengusaha) bersabar sambil mengupayakan solusi terbaik yang bisa dilaksanakan secara bersama.

Saya dengan tegas sangat menolak apabila Qanun No.11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah ini ditunda, bahkan dibatalkan. 

Menurut saya, hal yang baik dan dapat mensejahterakan serta menolong umat untuk menghindarkan dosa yang besar seperti riba itu harus disegerakan.

Riba, yang hari ini banyak macam dan beragam bentuk tipuannya, sesungguhnya merupakan dosa besar yang sangat berbahaya bagi para pelakunya.

Yakinlah, sebesar apapun harta yang dikumpulkan dari jalan riba, pasti akan membuat pelakunya jatuh, hina dan nista.

Selain kontroversi mengenai bunga bank termasuk riba atau tidak, praktik bisnis ribawi mempunyai dampak terhadap perekonomian.

Dampak tersebut adalah, pertama, sistem ekonomi ribawi telah banyak menimbulkan krisis ekonomi di dunia sepanjang sejarah.

Kedua, menimbulkan kesenjangan pertumbuhan ekonomi masyarakat dunia.

Ketiga, akan secara signifikan menimbulkan inflasi.

Keempat, sistem ekonomi ribawi juga telah menjerumuskan negara-negara berkembang kepada debt trap (jebakan hutang) yang tinggi.

Dengan fakta tersebut, maka sistem ekonomi ribawi tidak menumbuhkan ekonomi masyarakat, tapi justru menghancurkan sendi-sendi perekonomian negara, bangsa dan masyarakat secara luas. 

Sebagaimana dalam Alquran, Surah Ali Imran ayat 130 Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.”

Rasulullah SAW bersabda, “Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui, dosanya lebih besar dari pada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad dan Al Baihaqi).

Kalau riba satu dirham atau setara lima ribu rupiah dosanya lebih berat dari 36 kali berzina, lantas bagaimana kalau bank yang beroperasi di Aceh mengelola atau memperoleh laba puluhan atau ratusan miliar?

Hadis ini menunjukkan bahwa dosa riba adalah dosa yang sangat ngeri, karena dia senilai dengan kejahatan zina tiga puluh enam kali. Padahal, zina sekali saja adalah kejahatan yang sangat buruk, bagaimana lagi jika sampai berkali kali.

Jika demikian, dosa dari satu dirham uang riba bagaimana lagi dengan uang ratusan ribu rupiah yang didapatkan dari riba. Tidak diragukan, tentu lebih parah lagi.

Rasulullah SAW bersabda, “Tinggalkan tujuh hal yang membinasakan… (salah satunya adalah) memakan riba.” (HR Bukhari dan Muslim)

Pengembangan keuangan syariah (yang diukur dengan pembiayaan bank syariah) berkorelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi.

Namun, hasil penelitian juga memperlihatkan besarnya pengaruh positif perbankan syariah sangat tergantung kesiapan otoritas menyiapkan kerangka kerja institusional, Undang-Undang, regulasi, dan infrastruktur pendukung bank syariah yang memadai.

Peranan yang diharapkan dari pengembangan keuangan syariah dimaksud harus selalu mengacu pada tujuan umum syariah (maqashid syariah), yang memberikan kerangka kerja dan arahan besar bagaimana transaksi keuangan harus diatur.

Perspektif perbankan syariah menjadi tak terbatas pada pemenuhan persyaratan minimum hukum dan menyebut sesuai syariah.

Tujuan syariah institusi keuangan syariah mencakup kelancaran sirkulasi kekayaan, praktik keuangan yang adil dan transparan, dan keadilan, baik di tingkat mikro maupun makro.

Dalam maqashid syariah, kegiatan keuangan dan perbankan Islam mengarah pada aktualisasi tujuan syariah dengan mewujudkan manfaat dan mencegah mafsadah (kebinasaan).

*Penulis merupakan mahasiswi semester V, Perbankan Syariah, IAIN Langsa.

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *