Perih, Nyilu, dan… di Hari Kepedihan Itu

waktu baca 6 menit


Penulis: Darmansyah*)

PERIH, nyeri, pilu, sedih …. pedih … dan entah kata apalagi yang harus diurut untuk mengenangnya.

Saya tak mendapatkan  satu kata baku pun yang bisa singgah secara  permanen di memori saya mengenang hari itu.

Saya seperti bersumpah, sejak dulunya, tak ingin menulis kenangan  itu dengan kata dasar “ingat” yang konotasinya bisa menghadirkan baur interpretasi  atas nama kepentingan setelah diaduk oleh awalan dan akhiran.

Tak percaya?

banner 72x960

Cobalah aduk kata “ingat” itu dengan awalan per dan akhiran an. Maka ia akan jadi  kata “peringatan.”

Dan itulah kata yang saya benci ketika hari ini, Minggu, 26 Desember 2021.

Ketika banyak papan bunga, baliho, dan spanduk dibentang  untuk mengenang bilur-bilur kepedihannya.

Bilur-bilur kepedihan yang dihadirkan lewat papan bunga berhiaskan kertas  warna warni kertas yang diracik bak ucapan pesta perkawinan atau grand opening sebuah produk.

Atau pun seperti ucapan selamat atas pelantikan pejabat. Papan bunga, baliho dan spanduk membuat saya muak.

“Macam launching  brand produk saja,” gumam otak saya.

Untuk itulah, selama belasan tahun usai tragedi pedih itu berlalu, saya enggan membuat tulisan untuk mengenangnya.

Alasannya: saya tak ingin mengotori kenangan saya untuk sebuah kehura-huraan.

Lantas kenapa menulisnya hari ini?

Jawabannya? Walau pun Anda “cemeeh,”  saya tak peduli.

Saya punya alasan.

Tentu  Anda  menuding saya mencari pembenaran.

Kalau itu pun iya, saya mengakui semuanya.  Entah “cemeeh” atau pembenaran.

Saya menyederhanakan alasan penulisan ini karena tragedi pedih itu jatuh di hari Minggu.

Persis hari Minggu-nya, hari ditujuh belas tahun lalu. Hari yang tak pernah rontok oleh keropos usia di memori saya. Sampai ajal  menjemput sekali pun.

Hari yang datangnya di pagi  cerah. Di ujung pekan terakhir penanggalan  bulan Desember 2004.

Hari itu,  ketika bumi diayak, kami, para tetangga, di sebuah sudut jalan Teungku Di Blang, berlarian keluar rumah. Ngumpul bersama mak-mak dan balitanya.

Suasana panik.  Suasana yang bisa disimpulkan dalam satu satu kata, mencekam.

Mencekam tidak dalam tanda petik. Mencekam oleh kekalutan. Ketakutan

Goyangan gempa itu mendekati angka kesempurnaannya. Sembilan koma tiga magnitudo dari  angka sempurnanya  sepuluh magnitudo.

Gempa  yang oleh para peneliti disebut megathrust. Gempa bawah laut.  Gempa akibat ambruknya palung dasar di lempeng hindia yang kemudian didorong oleh lempeng burma.

Ambruknya lempeng laut ini menjadikan air menjadi surut untuk kemudian mengubahnya menjadi  gelombang raksasa bernama tsunami.

Gelombang yang mematikan di sepanjang pesisir daratan dengan ketinggian tiga puluh meter. Berkecepatan seratus mps atau tiga ratus lima puluh kilometer per jam.

Kecepatan yang mengerikan untuk kemudian menghunjam daratan

Sumber gempanya persis di utara bumi Aceh.

Gempa yang beranak pinak. Yang memutuskan aliran listrik. Merontokkan bangunan rumah penduduk dan membuat komunikasi mampat.

Tak ada bunyi sirene  sebagai tanda bahaya seperti diraungkan di pagi ini. Yang ada hanya lolong anak-anak dan pekik takbir seperti koor dari semua sudut-sudut lorong. Semuanya larut dalam kekalutan.

Saya, sepertinya,  tak ingin merinci cerita lanjutan dari kisah di hari Minggu itu. Anda bisa mendapatkan kisah ini dalam ribuan versi. Dari mereka yang selamat  dan menyimpan kepedihan panjang dari kenyiluannya.

Cerita mereka pasti jauh lebih hebat dan tragis dari  apa  yang bisa saya cuplikan di tulisan ini.

“Entahlah,” dengus saya. Dengus hari akhir Desember yang  membuat saya makin galau tentang lanjutan tulisan ini. Kegalauan akibat persimpangan pertanyaan.

Apakah tulisan ini saya lanjutkan atau pun stop sampai di sini.

Dengan sisa kekuatan di atas derita kepiluan, saya hanya bisa meminjam kepedihan dari sapaan tetangga saya bernama Kamarullah di pintu pagar rumahnya.

Sapaan pagi Minggu yang membuat saya terenyuh. Terenyuh dari kegalauan ketika ia berkata; “kita masih bisa menjalani rutinitas kehidupan, ya Pak” Suaranya lirih.

Saya tahu suara lirihnya itu menyimpan magma kenangan yang dahsyat. Magma kala anak dan istrinya “pergi” entah berjirat di mana. Yang ia sendiri, hingga di pagi Minggu tadi, lokasinya.

Yang ia tidak bisa menyelenggarakan pamakamannya.

Suara lirihnya itu juga  membuat saya mengenang kala ia pulang ke rumah tak ada lagi bangunan tempat berlindung. Semuanya punah.

Lantas saya tersadar kalau hari ini adalah Minggu, 26 Desember 2021.

Hari yang datang lagi usai rotasinya selama tujuh belas tahun lalu.

Pak Kamarullah  menstarter sepeda motornya  dan berujar,” saya  berangkat ke Lambaro, ya pak.”

Saya mengangguk dan langsung tahu kenapa ia harus ke Lambaro.

Di sana ada jirat massal. Jirat tanpa menuliskan nama penghuninya. Saya tahu ia kesana untuk takziah memeluk kenangan kehidupan bersama anak dan istrinya tanpa ia tahu persis apakah sang istri dan anak-anaknya “berumah” di sana.

Sapaan ini membuat bulir air mata saya menggenang. Saya tahu sapaan itu datang dari kepiluannya. Kepiluan setelah tujuh belas tahun hidup dalam dekapan nestapa.

Ketika Kamarullah berlalu dan hilang dari belokan pertigaan tapak jalan rumah kami, saya melirik ke ujung jalan buntu di sisi selatan saya berdiri.

Seorang lelaki yang saya tak ingin menyebut namanya merenung dan menerawang sambil terisak. 

Ia merunduk sembari membersihkan lilitan tanaman yang merambat pagar petak sebuah urukan tanah.

Petak tanah istrinya dan seorang anaknya berjirat.

Saya tak ingin mendekat karena tahu ia sedang “menyelam” ke 17 tahun silam. “Menyelam” untuk menghidupkan kenangannnya bersama dua anak dan istrinya.

Menghidupkan kenangan ketika hari pilu itu datang dan ia tak bisa bersama sang istri serta anak karena sedang tugas keluar kota.

Ia pengajar dengan predikat guru besar di kampus tekad bulat. Ia masih konsisten sebagai jomblo hingga hari ini. Hari yang dilewatinya selama 17 tahun ia dekap semua keindahan bayang-bayang.

Suatu hari saya pernah menggodanya kenapa nggak mengakhiri kesendirian.

Tahu jawabannya?

Pendek dan membuat saya serasa di-kick.”

“Saya belum bisa pak.”

Entah apa makna kata belum bisa itu. Saya tidak tahu dan tidak ingin tahu. Karena yang tahu adalah dirinya sendiri.

Anda sendiri bagaimana, tanya otak saya.

Tanya  itu saya jawab dengan merunduk. Allahuakbar…..

Saya diberi tanggung jawab memelihara keluarga yang utuh. Ada ayah, istri dan anak. Keluarga yang utuh karena janji kematian belum lagi menjemput.

Walaupun secara nalar sulit untuk mengisahkan bagaimana saya dan keluarga bisa selamat. Hanya kalimat pendek yang bisa saya taklimatkan,”belum lagi janji…..”

Sampai di ujung tulisan ini saya sepertinya kehilangan “touch.”  Kehilangan gairah karena tidak layak untuk mengumbar kisah tsunami karena ia bukan milik saya. Ia milik mereka yang sedang atau telah berhasil melewati lorong gelap kehidupan. Lorong yang menyebabkan mereka tertatih-tatih di hari-hari panjang hingga Minggu pagi ini.

Entahlah …. keluh saya tak ingin melanjutkan tulisan ini. Biarlah mereka, orang lain berorasi dengan gempita peringatan.

Biarlah mereka mengambil peran seolah-olah paling tahu tentang derita kepergian dua ratus ribu lebih insan negeri ini. []

* Dikutip dari nuga.co

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *