Penyebab Kualitas Proyek Pemerintah Diragukan

waktu baca 5 menit
Pengurus Wilayah Gerakan Nasional Pencegahan Korupsi Republik Indonesia (PW GNPK-RI) Aceh, Munadir A. Hamid SH.

Oleh: Munadir A. Hamid SH *)

INDIKASI korupsi biasanya diawali dari kekuasaan untuk mengambil keputusan sendiri atau diskresi yang dimiliki kepala daerah tanpa pengawasan yang memadai, sehingga mendorong terjadinya praktik korupsi.

Alokasi anggaran belanja Aceh pada tahun 2022 mencapai Rp 16,17 triliun. Jumlah ini terdiri dari belanja operasi Rp 8,71 triliun, belanja modal Rp 2,80 triliun, belanja transfer Rp 3,27 triliun, belanja tidak terduga Rp 96,76 miliar, dan sisa Rp 1,26 triliun.

Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) Aceh tahun 2022 sebesar Rp 46,39 triliun, sementara alokasi anggaran transfer ke daerah dan dana desa tahun 2022 di wilayah Aceh sebesar Rp 32,48 triliun.

Penulis merinci, DBH pajak dan sumber daya alam Rp 724 miliar, Dana Alokasi Umum (DAU) Rp 14,06 triliun, Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik Rp 1,98 triliun, DAK non fisik Rp 3,37 triliun, Dana Insentif Daerah (DID) Rp 114 miliar, Dana Otsus Aceh (DOA) Rp 7,56 triliun, dan dana desa Rp 4,67 triliun.

banner 72x960

Pemerintah Aceh dalam DIPA 2022 kembali mengalokasikan anggaran untuk sejumlah pekerjaan. Bahkan di tahun 2022 ini, pemerintah telah menyiapkan ribuan paket pekerjaan, baik berupa penunjukan langsung maupun lelang.

Sistem politik di Indonesia yang masih berbiaya tinggi menjadi indikasi maraknya kepala daerah yang terjerembab praktik korupsi juga disebabkan tingginya kekuasaan yang dimiliki, ditambah adanya kesempatan dan rendahnya integritas.

Jadi, penulis menilai penyebab kualitas proyek APBA/APBK diragukan dan diduga ada praktik jual beli atau dengan kata lain, korupsi terjadi karena kekuasaan ditambah adanya kesempatan dan minus integritas.

Pengurus Wilayah Gerakan Nasional Pencegahan Korupsi Republik Indonesia (PW GNPK-RI) Aceh selalu mengingatkan para kepala daerah untuk selalu memegang teguh integritas dan mengedepankan prinsip-prinsip good governance dalam menjalankan pemerintahannya.

Penulis prihatin dengan kondisi yang terjadi saat ini. Bahkan praktik dugaan transaksional dalam mendapatkan paket pekerjaan sudah berlangsung lama.

Berdasarkan pengalaman GNPK-RI dalam mengamati tindak pidana korupsi, setidaknya terdapat lima modus korupsi kepala daerah, yaitu intervensi dalam kegiatan belanja daerah mulai dari pengadaan barang dan jasa, penempatan dan pengelolaan kas daerah, pelaksanaan hibah dan bantuan sosial (bansos), pengelolaan aset, hingga penempatan modal pemda di BUMD atau pihak ketiga.

Kemudian, intervensi dalam penerimaan daerah mulai dari pajak daerah dan retribusi, pendapatan daerah dari pusat, sampai kerja sama dengan pihak lain. Modus lainnya intervensi dalam perizinan mulai dari pemberian rekomendasi, penerbitan perizinan, sampai pemerasan.

Lalu, soal benturan kepentingan dalam proses pengadaan barang dan jasa; rotasi, mutasi, promosi, dan rangkap jabatan; serta penyalahgunaan wewenang dalam proses lelang jabatan.

Penulis menyoroti sektor pengadaan barang dan jasa (PBJ), yang menjadi primadona kepala daerah untuk melakukan praktik korupsi. KPK pun telah mengidentifikasi berbagai titik rawannya.

Beberapa di antaranya, kelembagaan Unit Layanan Pengadaan (ULP) yang tidak independen, Pokja ULP tidak permanen, pelaksanaan PBJ yang tidak transparan, benturan kepentingan dalam pelaksanaan PBJ, dan sistem PBJ yang diretas oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

Modus lainnya, juga bisa dilakukan dengan cara kerja sama antara pejabat daerah dengan anggota DPRD, dalam proses ‘menggolkan’ suatu mata anggaran, yang bertujuan untuk memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak.

Selain itu, ada juga modus penyelewengan dengan melakukan rekayasa untuk menunjuk rekanan tertentu dengan harga yang sudah diatur atau mark up.

Pengadaan barang dan jasa merupakan satu dari delapan fokus area perbaikan dalam memantau pendampingan pengawasan masyarakat yang dilakukan GNPK-RI untuk memperbaiki tata kelola pemerintah daerah.

Untuk perbaikan tata kelola pengadaan barang dan jasa, GNPK-RI Aceh meminta Pemda untuk menyusun aksi perbaikan, antara lain dengan pembentukan UKPBJ yang independen, pembentukan Pokja UKPBJ permanen dan tidak merangkap dengan OPD lain, perencanaan kegiatan PBJ yang transparan dan akuntabel, pelaksanaan Reviu HPS dan Probity Audit, pelaksanaan Audit Kepatuhan PBJ juga pelaksanaan Audit IT PBJ.

GNPK-RI yang dalam perjalanannya bersinergi dengan KPK, Bareskrim Polri, Kejagung, Komisi Yudisial, Kompolnas, dan Ombudsman, serta lembaga lainnya, melalui program-program pencegahan, koordinasi dan supervisi. GNPK juga terus mendorong perbaikan tata kelola pemerintahan daerah agar transparan dan akuntabel.

Melalui upaya pencegahan, salah satunya adalah dilakukan dengan membuat kajian sistem. GNPK-RI berupaya menutup celah dan potensi korupsi dengan memberikan rekomendasi perbaikan agar tidak ada peluang atau kesempatan seseorang untuk bisa melakukan korupsi.

Keberpihakan GNPK-RI dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi sangat tegas, melalui upaya sosialisasi bahaya laten korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa adalah istilah yang dipergunakan untuk menggambarkan suatu kejahatan yang mempunyai dampak negatif terhadap kehidupan manusia.

GNPK-RI Aceh mendorong pembentukan budaya antikorupsi di masyarakat, termasuk menjaga integritas penyelenggara negara dengan menumbuhkan kesadaran agar tidak ingin melakukan korupsi.

Selain itu, GNPK-RI melalui upaya penindakan yang tegas, selalu merespon dan menganalisa informasi-informasi yang berkembang di masyarakat dalam Lapdumas yang masuk, dan melaporkannya ke KPK, Kejagung atau Bareskrim Mabes Polri.

Penulis menekankan, apabila peran aktif masyarakat dalam peran sertanya sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam pasal 41 ayat 5 dan pasal 42 ayat 5 diatur mengenai hak dan peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi, akan membuat penyelenggara negara takut, sehingga tidak mau korupsi.

Dalam beberapa kasus yang dilaporkan GNPK-RI baik ke KPK, Kejagung, atau Bareskrim Mabes Polri, modus korupsi pada PBJ yang terungkap antara lain, seperti izin proyek, pemberian suap dan gratifikasi untuk mendapatkan proyek, mark up anggaran, dan kolusi dalam proses lelang.

*) Penulis adalah Ketua PW GNPK-RI Aceh

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *