Pajak Nanggroe, Brueh Aneuk Beut dan dana BRA, Apa Kabar Mu Kini?

waktu baca 3 menit
Mustafa Husen Woyla (penulis) bersama para santri di dayah BUDI Lamno Sebelum Tsunami Aceh tahun 2004

Oleh : Mustafa Husen Woyla

Masih ingatkah kita pada kata Pajak  Nanggroe dan Infaq Perjuangan Aceh Merdeka?

Iya barangkali sudah terlupakan, namun ingatan kita disegarkan kembali karena hari ini, 15 Agustus 2020, diperingati kembali hari perdamaian antara GAM – Pemerintah Republik Indonesia.

Dalam rentang waktu konflik yang mendera selama 29 tahun, sejak 1976 sampai 2005, tentu banyak menyisakan kisah yang penuh duka dan penderitaan yang dialami, baik secara psikologis maupun secara materil, nyawa dan harta.

banner 72x960

Di antara kisah miris terjadi pada santri asal Woyla, yang meudagang di Dayah BUDI Lamno, Aceh Jaya. Bernama Mustafa Husen – Jamilah (almh)

Berikut kisahnya;

Keluarga penulis memiliki usaha kilang padi  milik keluarga.

Warga Woyla sering menyebutnya pabrek Bang Min atau Pabrek Toke Min Jawi.

Pada suatu hari terjadilah pengutipan pajak nanggroe;

———————-

“Pat breuh jatah pajak nangroe untuk perjuangan? tanya seorang angkatan GAM sagoe Woyla Raya kepada Mak saya.

“Oma, breuh kebetulan kosong ka abeh lagot, yang na, lon keubah keuaneuk 2 droe yang jak meudagang di BUDI Lamno, dua boh sak. Neu balek singoh manteng, jeut?” Mak penulis menawarkan solusi.

“O hanjeut, perintah Raja Hêh, wajeb na, jika hana, Toke Min kamoe ba u glee.” Ancam seorang utusan pengutip pajak nanggroe.

“Kakeuhlah jika meunan, neucok ju breuh jatah awak nyoe yg jak beut.” Jawab Mak saya miris, mengingat kami takut kehabisan beras di dayah.

———————

Dari dulu dan sekarang, bagi penulis, perkara pengutipan dana perjuangan itu hal yang lumrah terjadi di daerah konflik,  dan itu tidak dipermasalahkan oleh sebagian orang. Namun cara pengutipan dan nominal yang membuat sebagian orang Aceh menyisakan sejumlah kepiluan.

Zaman konflik, pajak nanggroe bukan dari pihak GAM saja, namun dari  Pihak oknum TNI-Polri minta keadilan, kenapa ke separatis diberikan, ke kami tidak, tanya mereka aparat RI kepada Ayah penulis.

Dan biasanya almaghfurlah  Ayahnda saya, membayar dalam bentuk uang cash atau langsung dikasih beras.

Ketika itu, Pihak GAM menjanjikan kompensasi, kelak setelah merdeka maka akan diganti berlibat ganda, sebagai bukti setoran pajak nanggroe, selalu diberikan kwintansi dan dibubuhi stempel panglima sagoe untuk ditukarkan kelak. Dan juga disertai ancaman jika melawan/menolak pajak nanggroe, diancam pakat jak sajan u glee berjuang dan akan dikeluarkan dari Nanggroe Aceh jika kelak akan merdeka.

Namun sayang semua bukti transaksi dibakar oleh keluarga, karena takut sepihak lagi, ketika itu siapa saja yang membantu donasi pergerakan separatis akan diseret ke ranah hukum.

Jadi, para toke dan pengusaha ketika itu memang dilema bak sapi perah atau bagai buah simalakama.

Itulah sekelumit kisah masa konflik Aceh antara GAM – Pemerintah RI yang kami alami, tentu keluarga lain merasakan hal yang sama, bahkan lebih jauh dari itu.

Kini semua telah berlalu, GAM mengurungkan niat merdeka dari NKRI, dan terjadinya kesepakatan dan penandatanganan MoU Helsinki, sebuah  kesepakatan pernyataan komitmen kedua belah pihak untuk penyelesaian konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua.

Turunan dari  MoU Helsinki  melahirkan Undang – Undang pemerintah Aceh (UUPA) dan terbentuk Badan Reintegrasi Aceh (BRA).

Adapun Tupoksi BRA adalah merencanakan dan melaksanakan program-program reintegrasi pasca konflik, diawali dengan reintegrasi, kesejahteraan social dan kebutuhan-kebutuhan akan penghidupan yang layak bagi kombatan, anak yatim, janda dan korban konflik seperti para toke dan sejumlah rumah dibakar dan lembaga yang menjadi korban konflik selama 29 tahun.

Namun saying, sudah 15 tahun damai, kehadiran BRA belum begitu dirasakan keberadaanya dalam menjalankan tugas dan fungsi, apalagi but remeh temeh, menganti rugi breuh santri dan sejumlah sumbangan toke min pabrek itu?

Bagi penulis, tidak perlu diganti, biarkan itu menjadi pahala tersendiri bagi almaghfurlah Ayahnda kami yang telah berpulang kerahmatullah. Amin

Wassalamu,

Penulis adalah Apa Lateh Woyla, Alumni BUDI Lamno dan Darul Muarrif dan Sekarang  Pengamat Bumoe Singet

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar

  1. Khairul

    Gawat that tulisan apalateh..tekhem raja heh bak gebaca(kadang)

    Balas
Sudah ditampilkan semua