Nandong, “Penyelamat” Tsunami dari Simeulue, Aceh

waktu baca 2 menit
Pulau Simeulue, Provinsi Aceh. (Foto: Dok. Dishub Aceh)
banner 72x960

Theacehpost.com | BALI – Ada banyak kearifan lokal yang disampaikan untuk menjadi praktik baik dan berbagi pengalaman bersama menghadapi bencana di forum Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) ke-7. Salah satunya, kesenian Nandong atau Nanga-nanga yang berarti bersyair di Kabupaten Simeulue, Provinsi Aceh.

Di Simeulue, para orang tua mengajarkan kepada anak-cucunya tentang kearifan melihat gejala bencana alam dengan bernandong. Dalam syair dijelaskan ciri-ciri dari gejala bencana alam, seperti guncangan kuat, air laut yang tiba-tiba surut, serta gelombang besar yang akan melanda.

Kepulauan Simeulue terletak di tengah Samudera Indonesia bagian Barat Sumatera. Sejak zaman dahulu, Simeulue sudah didatangi berbagai imigran.

Saat terjadi gempa dan gelombang tsunami atau smong yang menerjang pantai barat Aceh dan Sumatera Utara pada 26 Desember 2004 silam, warga Simeulue yang tinggal di kawasan pesisir justru tercatat sebagai wilayah dengan jumlah korban jiwa paling sedikit.

Sebagian besar warga Simeulue adalah nelayan dan tinggal di kawasan pesisir. Namun dari 78 ribu penduduk, korban jiwa tercatat hanya tujuh orang. Minimnya jumlah korban jiwa diyakini karena masyarakat Simeulue masih mempraktikkan Nandong.

Menurut akdemisi Gustaff H Iskandar, banyak masyarakat di sana yang selamat karena selalu teringat akan setiap nasihat tentang smong. Ketika pementasan tersebut diundang dalam kegiatan tradisional.

“Pengetahuan kolektif yang justru penting untuk meningkatkan daya tahan kita dalam mengantisipasi bencana di masa depan,” tutur Gustaff.

Setiap pementasan Nandong didesain menggunakan media-media yang akrab dipergunakan oleh generasi penerus bangsa. Kemudian, disebarkan ke ruang-ruang digital supaya daya jangkau dari penyebaran pesan itu dapat dilakukan secara masif.

Adalah Yoppi Andri, seniman yang menjadi penyintas atau salah satu korban selamat dari hempasan tsunami di kampung halamannya di Simeulue.

Saat ini, Yoppi aktif memperkenalkan Nandong sebagai salah satu praktik baik versi kearifan lokal dalam mengurangi risiko bencana.

“Nandong itu ada juga pesan-pesan moral dan lain-lain, seperti romantika kehidupan dan percintaan. Tapi Nandong ini yang menyelamatkan kami dari bencana tsunami beberapa tahun lalu,” ujar Yoppi saat diwawancara usai tampil di salah satu konferensi tematik GPDRR di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC).

Seringnya terjadi bencana di Indonesia telah membuat masyarakatnya terbiasa dengan kondisi tanggap bencana. Gotong royong untuk pulih bersama menuju resiliensi berkelanjutan pun menjadi kekuatan tersendiri di masyarakat.

Selain berkeliling ke daerah-daerah rawan bencana di Indonesia, Yoppi juga berusaha mengenalkan Nandong ke kancah dunia. Di antaranya ke Australia dengan membawa tema “Bernandong di Monash University”. []

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *