Menghidupkan Sabang Ketika Sektor Wisata Meredup

waktu baca 3 menit
Riski Ramadhan
banner 72x960

Oleh Riski Ramadhan*)

WABAH Covid-19 belum juga ada tanda-tanda berakhir meski bencana non-alam tersebut sudah menghancurkan sendi-sedi ekonomi bahkan aspek sosial dan tatanan kehidupan masyarakat.

Berbagai upaya terus dilakukan pemerintah untuk memutus rantai penyebaran virus mematikan itu, tetapi kematian akibat Covid-19 tetap saja tak terbendung.

Benar, dampak Covid-19 sangat luar biasa. Hampir semua sektor pembangunan nyaris tanpa gerak, kalau tak bisa dikatakan mati total.

Sektor pariwisata, misalnya, satu per satu gulung tikar. Kalau pun ada yang tetap bertahan, itu hanya faktor keberuntungan.

Denyut pariwisata praktis terhenti sejak Covid-19 melanda dunia, lebih dua tahun lalu. Itu pula yang terjadi di Kota Sabang, sebagai salah satu destinasi wisata terbaik yang dimiliki Provinsi Aceh.

Selama dua tahun terakhir, pesona Sabang hanya tinggal pesona. Tak ada lagi orang yang datang berduyun-duyun untuk menatap dan menikmati keindahannya. Dampaknya adalah hancurnya perekonomian masyarakat, khususnya pelaku pariwisata. Berbagai fasilitas pendukung yang telah dibangun berubah menjadi bengkalai. Prihatin sekali.

Saat ini, banyak penginapan (home stay), hotel, restoran, pusat penjualan souvenir restoran, cafe, jasa transportasi, jasa diving, dan lainnya di Kota Sabang terlihat semakin kritis. Bahkan tak sedikit pelaku usaha kepariwisataan semakin sulit bertahan hidup, hingga akhirnya harus menjual satu per satu aset yang dimiliki. Itu pun kalau ada yang mau beli.

Harus ada solusi

Data dari berbagai sumber yang penulis dapatkan, pada 2020 ada 85.000 lebih  wisatawan nusantara  dan 2.981 wisatawan mancanegara berkunjung ke Sabang.

Data tahun 2020 tersebut sangat jauh menukik dibanding masa-masa sebelum Covid-19 yang mencapai 739.256 wisatawan nasional dan 10.036 lebih wisatawan mancanegara.

Pelaku wisata di Sabang yang terimbas Covid-19 mencapai lebih kurang 300 orang, mulai dari pemandu, sopir, pelayan restoran, dan lainnya.

Sejumlah lokasi wisata pantai seperti Sumur Tiga, Anoi Itam, dan Situs Benteng Jepang semakin sepi. Kalaupun ada pengunjung—itupun wisatawan lokal—bisa dihitung dengan jari.

Kondisi serupa juga terlihat di lokasi eksotis lainnhya, Pantai Gapang Gampong Iboih. Pantai itu sepi, hening. Hanya deburan ombak dan semilir angin yang abadi.

Usaha boleh saja terhenti, namun urusan perut harus ada solusi. Paling tidak begitulah tekad dari para pelaku usaha yang kini terancam bahkan sudah gulung tikar.

Usaha pengganti yang kini digeluti pelaku usaha wisata agar bisa tetap bertahan hidup di antaranya bercocok tanam, membudidayakan ikan kerapu, ikan lele, nila, lobster, dan lainnya. Usaha tersebut dibuka di lokasi-lokasi wisata di pinggiran pantai.

Selain banyak yang beralih ke sektor perikanan, tak sedikit pula yang memaksimalkan usaha rumah tangga seperti membuat kue, memelihara ternak unggas seperti bebek, dan ayam.

Semangat masyarakat untuk tetap bertahan di kondisi sulit patut diapresiasi. Kini yang jadi pertanyaan sejauh mana pemerintah hadir di tengah kesulitan mereka.

Pemerintah harus membuka mata selebar-lebarnya untuk memotivasi masyarakat agar tetap mau berusaha. Motivasi tidak hanya sebatas membangkitkan semangat dengan slogan tetapi harus ada dukungan ril seperti modal usaha dan pembinaan secara terus menerus. Hanya dengan cara ini Sabang diharapkan bisa terus hidup meski sektor wisata meredup.[]

 *) Penulis Adalah Mahasiswa Prodi Hukum Ekonomi Syariah, STIS Al-Aziziyah Sabang.

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *