Melihat Perkembangan Tari Kreasi Aceh

waktu baca 4 menit
Tarian Ratoh Jaroe dari Aceh membuka perhelatan Asian Games 2018 dengan gempita. (Foto: Kemenpar)

Theacehpost.com | BANDA ACEH – Ragam budaya dan seni di Aceh tak lepas dari nuansa Islam. Agama yang dipeluk mayoritas masyarakat Aceh ini begitu kuat mengakar bahkan sampai dalam urusan berkesenian. Salah satunya kesenian tari kreasi.

Meskipun tari kreasi kebanyakan lahir dan melakukan pengembangan dari tari tradisi Aceh yang kental dengan nilai-nilai slamnya, selalu saja ruh tarian kreasi itu juga menjunjung tinggi nilai yang sama.

“Contohnya lihatlah tari kreasi Ranup Lampuan. Akarnya kan bernuansa islami itu,” kata Direktur Komunitas Saleum, Imam Juwaini kepada Theacehpost.com, Selasa, 14 Desember 2021.

Imam menjelaskan secara harfiah, tari tradisi Aceh hanya memiliki dua bentuk, yakni duduk dan berdiri. Tidak ada penggabungan antara penari laki-laki dan perempuan dari dua bentuk tersebut.

Saat tari kreasi lahir, barulah muncul tarian yang menggabungkan antara laki-laki dan perempuan. Salah satu contohnya Tari Meusare-sare. Namun demikian, dalam tarian tersebut ada pakem, boleh bercampur tapi tidak berpasang-pasangan.

banner 72x960

“Nilai-nilai Islam berarti kan menuntun bahkan dalam tari kreasi sekalipun,” katanya.

Menurut koreografer yang telah melanglang buana di panggung nasional dan internasional ini, tari kreasi baru muncul di Aceh pasca-kemerdekaan. Sebab di masa itulah para seniman leluasa menjalani aktivitas berkesenian dan mengembangkan kreativitas olah karsa.

Sebelum itu, banyak seniman terlibat dalam pergerakan kemerdekaan.

Diraihnya kemerdekaan, turut pula membawa bangsa yang kaya akan budaya dan seni ini kedatangan tamu-tamu penting. Baik di tingkat negara atau pun daerah. Di sinilah tari kreasi mulai mendapat tempat.

“Biasanya tari kreasi dipakai untuk menyambut tamu. Kalau di Aceh, misalnya Tari Ranup Lampuan tadi,” ujar Imam.

Namun, tari kreasi menurut Imam bukan hanya sebatas pengembangan dari tari tradisi atau pun folklore suatu daerah. Tari kreasi harus mampu menonjolkan identitas, karakter, motif, dan bentuk struktur dari tarian itu sendiri.

Tarian Aceh secara garis besar, kata Imam, tidak pernah lepas dari empat hal, yaitu salam pembuka, selawat, puji-pujian, dan pesan.

“Itulah strukturnya. Bahkan dalam tari kreasi sekalipun, ini sangat penting harus ada. Sebab inilah identitas dari tradisi Aceh yang lahir dari peradaban sangat tinggi, bukan sekadar lahir begitu saja,” katanya.

Imam Juwaini. (Foto: junmul.wordpress)

Zaman berkembang dan laju waktu tak bisa dibendung, tari kreasi semakin banyak lahir di Aceh. Namun menurut Imam, tari-tarian ini hanya satu dua yang melekat dalam ingatan masyarakat dan menjadi seni tradisi. Selebihnya menguap tak berbekas.

Imam Juwaini mengatakan, karya tari kreasi yang cepat lekang dalam ingatan masyarakat disebabkan karena tarian tersebut tidak berangkat dari akar tradisi masyarakat itu sendiri. Hari ini di Aceh, tari kreasi yang kebanyakan muncul, kehilangan roh dari kebudayaan Aceh yang telah mengakar sejak dulu.

“Jadinya, tarian itu hanya sebatas entertain, untuk pementasan saja atau perlombaan,” sebutnya.

Pesona Tarian Aceh

Sekali pun empat tahun silam, pada momen Asian Games 2018, tari kreasi Aceh memukau jutaan mata penduduk Indonesia dan dunia lewat tari Ratoh Jaroe, Imam punya catatan bahwa tarian tersebut bukanlah tari kreasi yang utuh. Sebab tarian ini hadir dari sejumlah tari tradisi yang sudah muncul di Aceh sejak dari zaman indatu.

Namun menurut Imam, usai Ratoh Jaroe memukau jutaan mata orang seantero negeri, seharusnya bisa dijadikan momentum tari kreasi Aceh bangkit dan menonjolkan identitasnya yang lebih utuh lewat seni kreasi baru.

“Saya pikir, sejak almarhum Yusrizal pembuat tari Ranup Lampuan itu telah tiada, kita belum melahirkan maestro baru tari kreasi. Yang lewat karya utuhnya melekat identitas dan karakter Aceh yang kuat,” sebut Imam.

“Sehingga waktu tari kreasi itu tampil, orang langsung tahu ‘oh.. ini tarian dari Aceh.’ Tidak perlu harus kita memberi tahu. Harusnya begitu,” kata pria yang sampai sekarang masih bergelut di Sanggar Seni Seulaweut itu.

Bagi Imam, tidak menutup kemungkinan di Aceh akan lahir Yusrizal-Yusrizal baru. Asalkan, dia berpesan, seniman-seniman ini harus terus berkarya dan tidak cepat puas terhadap hasil karyanya.

Apalagi saat ini, di tengah pandemi yang membatasi gerak orang berkumpul, seniman tak boleh mati kreativitas. Medium teknologi telah banyak lahir yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk memperkenalkan karya. Tinggal lagi bagaimana seorang seniman, terutama yang bergelut dalam seni tari kreasi, cepat beradaptasi dengan perkembangan zaman.

“Namun yang terpenting, setiap karya jangan pernah lari dari akar budaya. Lahirkanlah sebuah karya yang sifatnya karya budaya, bukan karya populis,” pungkas Imam Juwain. []

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *