Marak Tambang Ilegal, Bisakah Masyarakat Kelola Potensi Wilayahnya Sendiri?

Kapolres Aceh Selatan, AKBP Ardanto Nugroho memimpin olah TKP di lokasi tambang emas. (Foto: Humas Polres Aceh Selatan)

Theacehpost.com | BANDA ACEH – Kendati aparat kepolisian kian gencar menindak aktivitas tambang emas ilegal di Aceh, namun hal ini dinilai belum memberikan efek jera terhadap pelaku. Bahkan, kegiatan ilegal itu masih berlangsung masif di beberapa daerah.

banner 72x960

“Seperti di Kabupaten Pidie, Aceh Tengah, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, dan Aceh Selatan. Beberapa kasus penegakan hukum, justru menuai perlawanan dari kelompok penambang, seperti dihadang saat penyitaan alat berat yang terjadi di Pidie beberapa waktu lalu,” kata Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, Ahmad Shalihin dalam keterangan resminya, Senin 31 Januari 2022.

Dengan sederet perilaku tersebut, menurut Shalihin, tampaknya penegakan hukum belum menjadi solusi dalam menertibkan pertambangan emas ilegal di Aceh yang telah berdampak serius terhadap lingkungan hidup dan jadi penyebab bencana ekologis itu.

Direktur Eksekutif Walhi Aceh, Ahmad Shalihin. [Dok. Walhi]
Lebih lanjut, Walhi Aceh menyoroti regulasi soal Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Sebelumnya UU Minerba telah mengatur tentang ini dengan luas wilayah dan investasi terbatas.

Untuk mendapatkan IPR, kata Shalihin, lokasi yang dimohonkan harus berada dalam Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang merupakan bagian dari Wilayah Pertambangan (WP) yang ditetapkan dalam tata ruang nasional.

Untuk diketahui, kewenangan menetapkan WP berada di pemerintah pusat, setelah ditentukan oleh pemerintah daerah provinsi sesuai dan berkonsultasi dengan DPR.

“Sederhananya, masyarakat bisa memohonkan IPR ini dengan ketentuan tersebut. Namun jika areal yang dimohonkan mendapatkan IPR tidak berada dalam WPR, maka izin pertambangan rakyat tidak dapat diberikan,” tegasnya.

Ada beberapa ketentuan agar WP yang dapat ditentukan sebagai WPR. Kriterianya, mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/atau di antara tepi dan tepi sungai. Lalu juga mempunyai cadangan primer mineral logam dengan kedalaman maksimal 100 (seratus) meter.

“Selain itu juga WPR merupakan endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai purba. Luas maksimal wilayah tambang rakyat ini adalah 100 (seratus) hektare,” jelasnya.

Selanjutnya Shalihin menjelaskan, IPR diberikan oleh menteri kepada orang perseorangan yang merupakan penduduk setempat, atau koperasi yang anggotanya merupakan penduduk setempat.

Untuk memperoleh IPR, pemohon harus menyampaikan permohonan kepada menteri, dengan luas wilayah untuk satu IPR itu rinciannya: jika orang perseorangan paling luas 5 hektare, atau koperasi paling luas 10 hektare.

“IPR diberikan untuk jangka waktu paling lama 10 tahun dan dapat diperpanjang dua kali masing-masing lima tahun,” terang Shalihin.

Ia menyimpulkan, untuk perbaikan tata kelola pertambangan emas ilegal di Aceh, langkah utama yang harus dilakukan adalah Pemerintah Aceh adalah mengusulkan penetapan WPR kepada pemerintah pusat.

“Karena sepengetahuan kami, di Aceh belum terdapat WPR sehingga sampai hari ini rakyat tidak bisa mengurus IPR,” imbuh Shalihin.[]

 

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *