Indikator Kemiskinan dalam Perspektif Islam

waktu baca 8 menit
Prof. Dr. M Shabri Abd Madjid, SE., M.Ec. (Foto: Dok. KWPSI Aceh)

Theacehpost.com | BANDA ACEH – Sejumlah awak media di Banda Aceh yang tergabung dalam Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) kembali menggelar pengajian rutin, Rabu malam, 24 Februari 2021.

Padsa pengajian kali ini dihelat di Rumoh Aceh Kupi Luwak,Jeulingke, Kota Banda Aceh, tempat kaukus ini awal mula menggelar kajian-kajian keislaman sejak delapan tahun yang lalu.

Hadir sebagai pengisi kajian kali ini, Prof. Dr. M Shabri Abd Madjid, SE., M.Ec, Anggota Dewan Syariah Aceh (DSA) periode 2021-2025.

Dalam paparannya, Prof M Shabri menyorot tentang indikator kemiskinan dalam perspektif Islam.

Isu ini hangat diperbincangkan pasca-terbitnya data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menempatkan Aceh sebagai daerah termiskin di Pulau Sumatera.

banner 72x960

“Bicara tentang kemiskinan itu, sebenarnya sebuah topik yang rumit karena dia memiliki dimensi yang beragam. Kalau berbicara penyakit itu sudah complicated, artinya, ketika kemiskinan itu terdiri dari berbagai dimensi, maka yang pasti solusi untuk mengentaskannya juga itu harus diserbu dari berbagai penjuru. Kita tidak mau Aceh ini, negeri syariat, tapi dia miskin, karena syariat tidak identik dengan miskin,” ungkap Prof M Shabri.

Meskipun demikian, Prof M Shabri mengakui ada hal-hal yang membuat daerah ini identik dengan kemiskinan lantaran maraknya kasus korupsi dan tingginya angka pengangguran.

Kendati berstatus sebagai daerah termiskin di Sumatera versi BPS, tetapi anehnya tidak mengurangi indeks kebahagiaan masyarakat Aceh jika dibandingkan dengan daerah lain.

Dalam tausiahnya, M Shabri turut mengilustrasikan bagaimana pemetaan orang miskin yang keliru sehingga pemerintah cenderung salah dalam mengambil kebijakan.

Menurutnya, ketika analisis dan metode penentu indeks kemiskinan di suatu daerah dilakukan dengan cara salah, akhirnya memantik kisah kegagalan pengentasan kemiskinan di daerah tersebut.

M Shabri turut menyetir Hadis Riwayat Abu Daud yang menceritakan tentang seorang dari kalangan Anshar mengemis kepada Rasulullah.

Rasulullah kemudian bertanya, “apakah kamu memiliki sesuatu di rumah?.”

M Shabri melanjutkan, pengemis tersebut menjawab bahwa dia memiliki pakaian juga sebuah cangkir. Rasulullah kemudian meminta orang dari Anshar tersebut agar membawa pakaiannya tersebut untuk dilelang.

“Dari hasil pelelangan itu, pakaian itu terjual dengan harga dua dirham. Dari dua dirham tersebut, Rasulullah menganjurkan agar satu dirham dipergunakan untuk makan, dan satu dirham untuk membeli kapak.”

Menurut M Shabri, Hadis Riwayat Abu Daud itu dapat menjadi rujukan salah satu cara mengentaskan kemiskinan di Indonesia, termasuk di Aceh.

Merujuk pada hadis tersebut, Prof M Shabri menilai program pemberian bantuan langsung tunai yang selama ini diberikan kepada masyarakat dengan tujuan untuk mengentaskan kemiskinan kurang tepat.

Namu, kata dia, pemerintah juga harus menyertakan modal usaha kepada seseorang yang laik mendapatkan bantuan tersebut.

Prof Shabri juga mengaku miris dengan fakta yang dikeluarkan oleh BPS.

Apalagi kondisi tersebut berbanding terbalik dengan dana pembangunan daerah Aceh yang mencapai Rp 17 triliun pada tahun 2020.

“Kita berada di posisi terbesar dari sisi dana pembangunan, ini totalnya sekitar Rp 17 triliun tahun 2020, namun kenapa di sisi lain, uang banyak tapi masyarakat miskin,” kata Prof M Shabri, yang juga menjabat sebagai Tenaga ahli di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Aceh tersebut.

Dia menambahkan, pandemi Covid-19 juga menjadi pemicu angka kemiskinan di Indonesia, termasuk di Aceh.

Namun, menurut M Shabri, kenaikan angka kemiskinan di Aceh akibat Covid tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata nasional.

Pemerintah Aceh telah menargetkan penurunan kemiskinan di daerah setiap tahun dua persen dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) periode 2012-2017.

Tapi, target tersebut tidak tercapai, bahkan belum mendekati angka satu persen.

Ketidakberhasilan tersebut membuat pemerintah kemudian mengubah target penurunan angka kemiskinan di Aceh menjadi satu persen tiap tahun pada RPJM 2017-2022.

“Kalau kita lihat tahun 2017, angka kemiskinan di Aceh itu 15,29 persen, berarti kalau targetnya per tahun turun satu persen, maka seharusnya tahun 2020 kemiskinan di Aceh itu 12,52 persen. Tapi kenyataannya hanya turun sekitar 0,49 persen. Sangat sedikit sekali,” papar Prof M Shabri.

Menurut M Shabri, target yang tidak tercapai ini diduga turut dilatarbelakangi oleh kekeliruan dalam program pengentasan kemiskinan di Aceh.

Kemiskinan dalam Perspektif Islam

Anggota DSA ini lebih lanjut memaparkan definisi kemiskinan dalam perspektif Islam yang berbeda dengan pola barat.

Masyarakat barat cenderung mengukur kemiskinan seseorang atau kelompok tertentu tersebut berdasarkan materi.

Akan tetapi, menurut M Shabri, indikator kemiskinan menurut Islam tak hanya diukur dari materi semata, tetapi juga dari sisi spritiual.

“Ketika kita berbicara kemiskinan dalam Islam, kita harus melihat dari dua dimensi. Artinya, ada kemiskinan spiritual dan juga kemiskinan materi. Kadang ada orang kaya, leu peng (banyak uang), tapi ngeut (mudah dibohongi). Itu belum tentu kaya dia,” katanya.

Kekayaan dalam Islam itu juga harus diukur dari sisi pemahaman seseorang dalam bidang keagamaan atau intelektual.

Dengan berbedanya definisi kemiskinan tersebut, maka solusi pengentasan pun harus ditempuh dengan cara berbeda.

Jika berpegang pada indikator kemiskinan versi barat, maka seseorang yang pekerjaannya menjual barang haram seperti sabu-sabu dan sebagainya akan dianggap sebagai orang kaya lantaran memiliki materi yang banyak.

Prof M Shabri kembali mengutip Hadis Riwayat Muslim dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda, “kekayaan itu tidak terletak pada banyaknya jumlah harta dunia tetapi kekayaan itu terletak pada kekayaan hati.”

Dari hadis tersebut, kata M Shabi, dapat dimaknai secara terbalik dalam mendefinisikan kemiskinan.

“Jika memakai definisi ini, berapa banyak orang miskin di Aceh? Saya pikir akan lebih banyak dari yang dilaporkan,” sebutnya.

Ada banyak penyebab kemiskinan dalam Islam, salah satunya dipicu oleh ketidaktaatan seseorang terhadap ajaran ilahi.

Dia mencontohkan, seperti adanya individu yang memakan harta anak yatim. Hal tersebut bahkan telah dinukilkan dalam Alquran.

Selain itu, kemiskinan juga dapat terjadi akibat ulah manusia, bukan karena kelangkaan sumber daya alam.

“Dan apa yang menimpa kamu, maka itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri,” ujar M Shabri, mengutip QS Asyura.

Allah juga menjamin rezeki semua makhluk yang bernyawa dan mereka tidak akan kelaparan. Namun jaminan tersebut harus dibarengi dengan ikhtiar oleh manusia itu sendiri.

Prof Shabri kemudian turut menyebutkan tentang lahan kosong di Aceh yang tidak diberdayakan dengan baik.

Hal tersebut menurutnya berbeda dengan daerah di Jawa yang sulit sekali menjumpai lahan kosong terbengkalai seperti di Aceh.

“Di Aceh, banyak sekali tanah mubazir. Padahal orang Aceh tahu, mubazir itu temannya setan,” ujarnya.

Kemiskinan juga dapat terjadi lantaran tidak bertanggung jawab orang kaya terhadap orang miskin.

Dalam Islam setiap harta kekayaan yang berhasil dikumpulkan wajib ditebus dengan zakat. Artinya, menurut M Shabri, ada hak orang lain dalam setiap harta yang dikumpulkan itu.

“Maka Islam mewajibkan zakat (untuk mengentaskan kemiskinan). Seharusnya polisi dalam setiap razia tidak hanya menanyakan SIM, tapi juga menanyakan surat telah membayar zakat. Kalau tidak ada kan bisa ditangkap karena membayar zakat itu adalah kewajiban,” tambah M Shabri.

Prof Shabri juga mengatakan, faktor pemicu kemiskinan juga disebabkan oleh praktik alokasi dan eksplorasi sumber daya oleh sekelompok golongan manusia.

Menurutnya, hal tersebut senada dengan alokasi dana pembangunan yang tidak merata, meskipun Aceh memiliki dana otonomi khusus (Otsus). Alhasil, kondisi seperti ini kemudian memicu ketimpangan sosial di masyarakat.

“Sejauh mana dana Otsus itu sudah adil? Berbicara tentang syariat di Aceh, tidak hanya berbicara tentang perbankan, tetapi juga berbicara tentang public policy. Sejauh mana APBA itu sudah berpihak pada orang miskin? Sudah sesuai alokasi syariah apa belum? Ini belum yang terjadi,” kata M Shabri.

Penyebab lain kemiskinan adalah akibat manusia malas bekerja.

Pada dasarnya, kata M Shabri, kemiskinan bukan lah sebuah takdir, tetapi karena faktor malas itu sendiri. Menurutnya hal ini sesuai dengan konteks keacehan.

“Pengangguran di Aceh itu tinggi, coba lihat banyak pekerja kasar, buruh dan sebagainya, berapa persen orang Aceh?.”

M Shabri menyebutkan kemiskinan juga dapat terjadi karena eksploitasi atau penindasan aspek sosial, ekonomi dan politik oleh golongan tertentu.

Menurutnya, hal ini dapat terjadi karena sistim ekonomi yang berbasis riba.

“Ini sama dengan politik. Ketika politik dimonopoli oleh orang tertentu, maka sejauh mana politik sudah sesuai dengan syariat. Orang akan berbicara tentang dana pokir dan sebagainya,” katanya lagi.

Cara mengentaskan kemiskinan

Prof Shabri menyebutkan ada beberapa cara mengentaskan kemiskinan yang terjadi di Aceh sekarang.

Salah satunya adalah bertindak proaktif ketika menemukan ketimpangan sosial dalam masyarakat.

Selain itu, pemerintah juga tidak dapat mengandalkan program bantuan tunai untuk makan sehari-hari penduduk, namun juga turut disertai dengan memberikan modal usaha agar orang-orang miskin dapat mencukupi biaya hidupnya.

“Selain memberikan bantuan tunai langsung, sekarang kan banyak program-program bantuan langsung, balsem, entah apa-apa namanya, itu dikasih uang, itu sampai kiamat pun tidak akan bisa mengentaskan kemiskinan. Karena itu dia hanya cukup untuk makan,” ungkapnya.

Meskipun demikian, menurut M Shabri, ada hal paling berat dalam mengentaskan kemiskinan di Aceh. Hal tersebut adalah mengubah karakter orang-orang Aceh.

“Paling berat adalah kemiskinan moral. Misal kita duduk di kampung, ketika diberikan uang, dia akan mengatakan nyoe chit peng tanyoe jameun dicok lee nanggroe (Ini kan uang kita dahulu yang diambil negara),” kata M Shabri.

“Mengubah karakter orang Aceh itu paling berat,” tambahnya.

Menurut M Shabri untuk mengubah hal tersebut diperlukan program-program yang selaras dengan karakter orang Aceh.

Namun hal paling penting adalah pendampingan terhadap orang-orang yang telah diberikan modal usaha tersebut.

Di sisi lain, pemerintah juga diminta untuk mengoptimalkan perputaran ekonomi daerah di awal tahun.

Pasalnya selama ini perputaran uang di Aceh kerap berjalan pada bulan Mei hingga 15 Desember.

“Akhirnya berdampak pada kualitas program,” katanya.[]

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *