Hotel Dekat Masjid, Kenapa Tidak?

waktu baca 5 menit
Usamah Elmadny
banner 72x960

Oleh Usamah Elmadny*)

Bagaimana sesungguhnya relasi hotel-masjid? Saling mengisi dan melengkapi? Atau, saling menegasi? Saling melemahkan? Saling meniadakan?

Tiang pancang rencana pembangunan hotel di dekat Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh dan penampakan Hilton di samping Ka’bah dan Masjidil Haram di Mekkah. (Foto Usamah Elmadny/Google.com)

Paling tidak ada dua perspektif yang berkembang dalam melihat relasi hotel-masjid: positif dan negatif.

Pemerintah Saudi Arabia yang dikenal berideologi salafi yang militan, misalnya, melihat relasi hotel-masjid dalam perspektif positif.

Bagi Pemerintah Saudi, hotel dan masjid adalah dua infrastruktur yang saling melengkapi. Keduanya berdimensi profan dan sakral. Saling menopang dan melengkapi dalam bingkai ridha ilahi.

Maka, sekitar 100 meter bahkan lebih dekat lagi dari Masjidil Haram dan Ka’bah yang suci dan disucikan itu, berdiri puluhan hotel berbintang.

Yang mengejutkan, salah satu hotel yang paling dekat dengan Masjidil Haram dan Ka’bah adalah Hotel Hilton milik seorang Yahudi, bernama Hilton Worldwide, warga AS yang memiliki jaringan hotel di berbagai penjuru dunia.

Bagi yang pernah ke Mekkah pasti ingat hotel ini posisinya menghadap langsung ke Masjidil Haram. Terletak antara Hotel Dar Tauhid Intercontidental dan Hotel Abraj Al-Bait.

Hotel ini memiliki panorama Masjidil Haram dan Ka’bah. Tujuh lift dengan dinding kaca transparen bertengger di dalamnya.

Hotel Hilton ini memang milik Yahudi, tapi seluruh aspek manajemennya dikendalikan dan diawasi Pemerintah Saudi.

Dengan demikian di dalam hotel itu tidak boleh ada dan tidak tersedia kesempatan berbagai aktifitas maksiat yang berlawanan dengan syariat sebagaimana selama ini diyakini para pihak.

Ketika posisi dan manajemen hotel demikian, maka sekalipun hotel dekat Masjidil Haram itu milik Yahudi, yang terjadi kemudian hotel tersebut justru menghadirkan maslahat. Bukan mudharat, apalagi maksiat.

Misalnya, setelah penat beribadah, jamaah Masjidil Haram dapat beristirahat pada jarak dekat dari Ka’bah. Lalu, ketika azan berkumandang, atau sepertiga malam mau melaksanakan qiyamullail, maka para jamaah tidak perlu berjalan jauh. Sekejap sudah tiba ke masjid.

Begitu juga tamu-tamu Allah seperti perempuan yang berhalangan (haid), dari kamar hotel dekat Baitullah itu mereka dapat mengikuti berbagai kegiatan di Masjidil Haram melalui CCTV yang dipancarkan ke kamar hotel. Termasuk mendengar azan, suara imam yang merdu serta berbagai kenikmatan spiritual lainnya dari dalam Masjidil Haram.

Demikian juga di Madinah.

Puluhan hotel mengelilingi Masjid Nabawi yang di dalamnya makam Nabi Muhammad SAW. Kesemuanya memudahkan jamaah.

Di Banda Aceh sejumlah manajemen hotel akhir-akhir ini seperti memahami suasana batiniah tamu terutama turis luar yang ingin dan rindu shalat berjamaah di Masjid Raya Baiturrahman.

Tapi apa hendak dikata. Maksud hati ke Masjid Raya Baiturrahman, tetapi kaki tak sanggup menjangkau. Karena posisi hotel jauh dari masjid kebanggaan kita itu.

Membaca keinginan tamu mereka, manajemen hotel di Banda Aceh akhirnya juga melihat relasi hotel-masjid dalam perspektif positif.

Maka sejumlah hotel di Banda Aceh pun saat ini memfasilitasi kendaraan khusus bagi tamunya untuk dapat shalat berjamaah di Masjid Raya Baiturrahman.

Ternyata menurut sejumlah penuturan, para tamu dan turis yang datang ke Banda Aceh merasa senang ketika sejumlah pihak hotel memfasilitasi mereka shalat berjamaah di Masjid Raya Baiturrahman.

Kemarin, ketika melintas di sisi kiri Masjid Raya Baiturrahman, dan ini sering saya alami, saya selalu terpana dengan tanah kosong eks Aceh Hotel yang hanya dipisahkan jalan dari Masjid Raya Baiturrahman.

Tanah kosong itu begitu stretegis. Di atasnya terhampar rumput hijau. Di sela-sela rumput hijau itu terpacak kokoh tiang pancang yang telah dicat warna warni.

Di tempat itu, belasan tahun lalu akan dibangun sebuah hotel berbintang. Namun kemudian tertunda sampai hari ini.

Konon konsepnya hotel itu akan dibangun dengan atsitektur yang terintegrasi dengan Masjid Raya Baiturrahman.

Bukan hanya arsitekturnya, tapi juga konsep operasional hotel itu akan dibuat terintegrasi dengan konsep religiusitas Masjid Raya Baiturrahman.

Dengan demikian, hotel tersebut bukan hanya infrastruktur yang berdimensi bisnis, tetapi juga sebagai infrastruktur yang akan mendukung kesempurnaan Masjid Raya Baiturrahman sebagai tempat ibadah sekaligus destinasi wisata spiritual di Banda Aceh.

Gambaran estimasinya, hotel indah dekat Masjid Raya Baiturrahman itu akan seperti hotel sekitar Masjidil Haram dan Masjid Nabawi di haramain (dua tanah haram) itu.

Manajemen dan kontrol operasional akan diawasi ketat oleh Pemko Banda Aceh.

Dengan demikian hotel tersebut benar-benar terjaga dari hal-hal yang tidak sesuai syariat.

Bila seperti ini rencana operasionalnya, maka kekhawatiran sejumlah pihak terhadap keberatan hotel dekat Masjid Raya Baiturrahman tidak relevan lagi.

Seperti korelasi Hotel Hilton dan hotel lainnya di Mekkah dengan Masjidil Haram. Maka dari Aceh Hotel di samping Masjid Raya Baiturrahman itu para tamu dan wisatawan yang berkunjung ke Banda Aceh dengan mudah dan cepat setiap waktu datang, mengakses serta shalat di Masjid Raya Baiturrahman ini.

Apalagi bila dari dan ke Masjid Raya Baiturrahman akan dibuat terowongan bawah tanah. Akan sangat indah lagi dan menjadi daya tarik wisata yang luar biasa.

Para wanita muslim yang berkunjung ke Aceh tetapi karena halangan syar’i tidak boleh masuk Masjid Raya Baiturrahman, maka di dalam kamar hotel bisa melihat aktvitas dalam masjid termasuk kumandang azan, merdunya suara imam, dan berbagai keindahan spritual lainnya. Seperti dari Hotel Hilton ke Masjidil Haram.

Sepertinya perlu kita pikirkan ulang prmanfaatan lahan kosong eks Aceh Hotel dekat Masjid Raya Baiturrahman itu.

Termasuk mempertimbangkan untuk bangunan Hotel Syariat yang indah, megahit serta berkonten dan bernuansa religius.

Kalaulah kita ragu bahwa bangunan hotel dekat Masjid Raya Baitirrahman itu dengan segala dinamikanya akan merusak spritualitas Masjid Raya Baiturrahman, maka prasangka demikian perlu kita timbang ulang baik-baik.

Karena, yang merusak spritualitas Masjid Raya Baiturrahman bukan sahaja karena hadirnya hotel yang tidak terkendali dekat masjid. Tetapi, para pedagang di Pasar Aceh yang tidak menghentikan aktivitas perdagangannya ketika azan berkumandang juga dapat mencoreng kehormatan orang Aceh sebagai Serambi Mekkah, apalagi jika turis menyaksikan secara terus menerus keadaan seperti itu.

Bagi saya, Masjid Raya Baiturrahman yang bersih indah dan artistik, ada hotel bermanajemen syariah di dekatnya, serta Pasar Aceh yang sepi ketika azan berkumandang adalah salah satu ikon wisata syariah yang dapat dipasarkan oleh Pemko Banda Aceh dan akan menjadi daya tarik yang luar biasa.

Kiban meunurot gata, na cocok? []

*) Penulis adalah Editor/Kolumnis Theacehpost.com

 

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *