Diskusi Energi Terbarukan di “FGD Tokoh Aceh-Nasional”, Siapa Peduli?

waktu baca 7 menit
Diskusi Tokoh Aceh-Nasional, "Eneregi Terbarukan, Siapa Peduli?" (Desain Theacehpost.com)

PENGANTAR – Pada 7 Februari 2021, seorang tokoh yang bergabung dalam grup WhatsApp FGD Tokoh Aceh Nasional, Dr. Ibrahim Hasyim memposting artikel yang dilansir http://globalenergi.co berjudul, RUU EBT: DPR dan Pemerintah Harus Cegah Energi Terbarukan Ditunggangi Kelompok Bisnis.

Dr Ibrahim Hasyim yang menulis buku ‘Arah Bisnis Energi’ melanjutkan postingannya. “Kemajuan EBT (Energi Baru Terbarukan) akan berdampak pada migas, termasuk migas Aceh.”

“Timor Leste, yang APBN-nya bertumpu pada migas, berdampak sangat serius pada perekonomian dan kesejahteraannya. Seperti apa proyeksi penerimaan migas Aceh untuk APBA, bisa diharap?,” begitu pertanyaan Dr Ibrahim sehingga memantik diskusi panjang.

Diskusi yang dipandu Muhammad Hafidh yang juga salah seorang admin grup FGD Tokoh Aceh Nasional tersebut dirangkum oleh Pemred The Acehpost.com, Nasir Nurdin untuk laporan khusus edisi ini. Semoga bermanfaat.

 

banner 72x960

Menanggapi postingan Dr Ibrahim Hasyim, admin grup, Muhammad Hafidh meminta seorang pejabat dari Kementerian ESDM memberikan pencerahan. Namun, karena berbagai pertimbangan, sang pejabat menyatakan tidak bersedia nama dan pernyataannya dipublis.

Dalam diskusi itu Dr Ibrahim Hasyim berharap agar diberi kesempatan sedikit lebih kepada batubara (toh sekarang masih yang terbesar), tapi dipungut sedikit cross subsidi ke EBT.

“Oh ya, tenaga surya banyak butuh lahan, apakah sudah ada teknologi yang meminimize lahan itu?,” tanya Ibrahim.

Tokoh lainnya yang terlibat dalam diskusi adalah Dr HM Natsir Insya. Natsir mengangkat isu energi nuklir yang menurutnya di Aceh mempunyai prospeksi bahan galian nuklir yaitu uranium.

“Nah, dengan potensi tersebut Aceh akan memiliki tambang uranium (saat itu baru Aceh Hebat). Apakah dalam RUU EBT termasuk energi nuklir?. Mohon pencerahannya,” pinta Natsir.

(Permohonan Natsir sebenarnya sudah mendapat penjelasan panjang lebar dari pejabat Kementerian ESDM, namun menjelang diskusi itu diangkat untuk konsumsi publik, ternyata ada larangan mengutip).

Energi Nuklir Mutlak Perlu

Terkait isu nuklir, Prof Dr Darni M Daud, MA (mantan Rektor Universitas Syiah Kuala)  menulis, “cepat atau lambat energi nuklir mutlak perlu. Lebih murah dan potensi yang kita miliki cukup besar. Jika tidak, cepat atau lambat potensi energi nuklir kita bisa saja dimanfaatkan pihak yang tidak pro-kepentingan pembangunan Aceh.”

Darni menyebut, banyak literatur yang menyatakan bahwa kompetisi atau bahkan perang sekarang dan ke depan dipicu-pacu terutama oleh food and energy.

“Karena itu, saya kira sejak dini kita harus mulai dan persiapkan diri untuk setidaknya mencukupkan makanan dengan tanah pertanian kita yang ada, begitu juga energi yang kita punya potensi,” lanjut Darni.

“Ide yang menarik dan prospektif,  mengingat energi sudah menjadi kebutuhan ‘pokok’ sekarang apalagi ke depan. Mungkin jika PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga Bayu) cukup bagus, dapat didorong teman-teman di kawasan lain untuk mengembangkannya juga di seluruh Aceh, terutama kawasan yang ada/banyak sawitnya,” begitu pandangan Prof. Darni.

Tokoh Aceh, Karimun Usman menimpali diskusi dengan menulis, “ada satu hal yang perlu direkomendasi oleh grup ini untuk ekonomi Aceh. Minyak sawit Aceh kurang lebih 8 juta ton/tahun. Ongkos per kilogram Rp 4 sampai Rp 7!.”

Karimun mengatakan, sudah sejak perdamaian Aceh tahun 2005 sampai sekarang Pemerintah Aceh/pengusaha belum berencana membangun pabrik olahan minyak sawit di Aceh.

Satu keanehan, mentega, sabun, minyak goreng, dan lain-lain yang bisa dihadirkan dari proses minyak sawit termasuk (biogas?). Padahal kalau pemda dengan DPRA akrab bisa dibangun oleh BUMD! “Kembali lagi masalah politik di Aceh!!,” tulis Karimun.

Karimun melajutkan, “bila kita bicara PLN, saya dengan grup-nya justru lagi membangun PLTB (PEMBANGKIT LISTRIK TERBARUKAN ) di Tamiang!

Bahan bakarnya dari cangkang sawit dan sampah-sampah sawit! Selama ini tidak ada yang berpikir ke sana. Selalu berpikir bahan bakar gas, batubara , PLTA, dan geothermal.

“Ini (geothermal) sejak tsunami katanya dibantu Jerman? Jadi orang lain sulit masuknya!,” tandas Ketua PDI Perjuangan Aceh tersebut.

Terhadap berbagai tanggapan dan pemikiran yang disampaikan Karimun, langsung disambut oleh pemandu diskusi dengan mengatakan, “silakan kita diskusi untuk lobi-lobi tingkat nasional, ada Pak Karimun dan lain-lain. Semua sumber daya kita siap, insya Allah.”

Dr. Ibrahim Hasyim menimpali diskusi. “Kalau boleh menyampaikan usul lagi (biar masuk list), geothermal Jaboi Sabang kabarnya berkemampuan 80 MW sedangkan untuk konsumsi Sabang sekitar 20 MW. Saya bermimpi (sering saya tulis di media), kalau bisa geothermal di Sabang bisa terus dimaksimal kan sehingga ke depannya Pulau Weh menjadi satu-satunya pulau yang energinya berbasis EBT, keren.”

Kelebihan kapasitas, menurut Ibrahim Hasyim bisa dijadikan daya tarik untuk investor green industry.

Ibrahim melanjutkan, pemikiran saya adalah membangun Sabang sebagai satu-satunya pulau berbasis energi terbarukan. Maka kelebihan energi itu bisa merupakan daya tarik industri.

Sekali waktu, katanya, ketika Pak Dr. Chotib Basri sebagai Kepala Badan Penanaman Modal Dalam Negeri, saya minta pendapat beliau, kenapa investor tidak mau masuk ke Aceh?

Beliau menjawab karena kekurangan energi. Makanya saya berpikir, kenapa Jaboi tidak dibangun penuh saja. Ketersediaan energi yang berlebih di sana menjadi ikon untuk promosi industri, terutama industri hijau masuk ke Sabang. Turki menjadikan ikon ketersediaan energi sebagai daya tarik untuk investor masuk.

“Akhir tahun, sewaktu kami luncurkan buku Darurat Energi BBM Tsunami Aceh di Banda Aceh bersama Pak Azwar Abubakar, ikut hadir Kadistamben. Sepertinya belum ada yang senggol-senggol membahas serius soal ini,” tulis Ibrahim.

Sedangkan terhadap pandangan Prof. Darni, dikatakan oleh Ibrahim Hasyim, Aceh perlu punya sikap terhadap itu.

Kalau memang betul ada kandungan nuklir, maka di samping aktif dalam perjuangan di DPR, perlu juga upaya untuk berbicara dengan masyarakat tentang bentuk pemanfaatannya.

Pada fitproper test calon anggota DEN yang lalu, salah satu pertanyaan tertulis adalah bagaimana sikap tentang energi nuklir. “Provinsi Babel ikut berjuang karena ada cadangan thorium untuk PLTN di sana, terus bagaimana sikap kita Aceh yang ada cadangan nuklirnya?,” tanya Ibrahim.

“Iya, tentu. Pada tahap awal teman-teman yang pakar /ahli dalam bidang ini harus mulai mendata,” jawab Prof. Darni.

Terkait PLTN, Ibrahim Hasyim menulis,  “pada saat launching buku saya oleh Kompas tahun lalu, CEO dari Thorium, memberitahu saya, mereka sedang buat prototype PLTN berbasis thorium sampai 2024. Jika teknis dan legal OK, 2028 PLTN 500 KVA akan jalan di Babel. Gubernur-nya di depan ikut promosi.”

Sedangkan kepada Dr. HM Natsir Insya, Dr Ibrahim Hasyim mempertanyakan kenapa pembahasan RUU EBT masih belum diketok (palu) karena ada pro-kontra yang begitu-begitu?

“Menurut Informasi yang saya ikuti dari Bagian TU Komiisi VII DPR, masih panjang katanya dan kelihatannya alot di DPR, masih menunggu masukan dari masyarakat,” jawab Natsir Insya.

Mengenai geothermal Jaboi, seorang tokoh Aceh, Iskandar Bakri yang pernah menjadi pejabat World Bank, USA menulis, “kontraknya di PLN cuma 2x5MW (10 MW).

Sabang peektime cuma perlu 10 MW menurut PLN. Kalau 80 MW harus ada industri besar yang bisa menyerap 60-70 MW atau buat subsea cable sambung ke Pulau Aceh dan Banda Aceh untuk transfer kelebihan listrik. Subsea cable menurut FS bisa memakan biaya Rp 1 T. Semua cuma PLN yang bisa bangun dan izinkan,” kata pria yang akrab dengan sapaan IB tersebut.

Untuk sementara, lanjutnya, (karena) PLTP Jaboi nggak jalan karena permasalahan izin, lebih baik bangun mobile PLTG 10-15 MW di sana. Investasi jauh lebih murah dan Sabang senang. “Semua tergantung PLN. Semua kita sudah capek mikir PLTP Aceh, rupanya semua di tangan PLN,” tandas IB.

Iskandar Bakri melanjutkan, PLTG 50 MW prioritas untuk Banda Aceh di Ladong sampai hari ini belum selesai. Alasannya tidak tahu. Mungkin ada permasaalahan pendanaan di PLN?

“Urusan renewable energy Aceh (PLTA, geothermal, solar, wind dan sea current) dan juga clean energy (gas) untuk Aceh tampaknya sudah ditangani Dinas Pertambangan dan Energi Aceh. Tapi PLN dan ESDM ada misi sendiri. Ini harus sinkron,” ulas Iskandar Bakri.

Dr. HM Natsir Insya melanjutkan pemaparannya. “Sebaiknya pengkajian akademis perlu dimulai mengenai kajian geologi dan bahan galian nuklir untuk menentukan daerah potensial uranium di Aceh. Pengkajian yang sudah ada dilakukan oleh Batan. Itu sebagai telusur kajian kita orang Aceh.”

Sejalan dengan hal di atas, kata Natsir, perlu pengenalan nuklir ke masyarakat melalui pemanfaatan radiasi nuklir untuk pertanian, industri, food dan energy, material, dan lain-lain yang perlu dimulai melalui pendidikan di universitas. Kita perlukan untuk skala laboratorium. Oleh karena itu fasilitas radiasi perlu kita tongkrongin di Universitas Syiah Kuala (USK). Dari situlah SDM tercetak dan memulai (proyek) nuklir Aceh. (Theacehpost.com)

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *