Daulat Rokok

waktu baca 3 menit
Sulaiman Tripa

HARI ini, kolom ketiga yang saya selesaikan dengan kondisi tubuh yang tidak stabil. Ada sedikit gangguan. Katanya dalam struktur tubuh, keadaan bisa tidak normal ketika ada salah satu piranti dalam tubuh kita sedang tidak pada tempatnya. Saya teringat bagaimana sering merasa tidak enak badan walau ternyata ada sedikit ujung duri di jemari.

Kolom ini sudah tersedia terlebih dahulu, namun belum tuntas. Keadaan semacam ini sering terjadi. Bagi saya, sudah biasa. Ada satu ide, lalu saya menggarap, lalu tidak tuntas karena berbagai persoalan dalam perjalanannya.

Ia tersimpan begitu saja dan ketika tiba masanya, saya sampai harus memaksakan diri agar ia kelar. Itulah dunia menulis. Dan ketika kolom ini saya garap awalnya, kondisi badan saya masih normal.

Sore hari, lebih seminggu yang lalu, saya duduk dengan sejumlah orang, di satu warung bandrek terkenal. Bersama kami ada tiga anak kecil. Sengaja dari awal kami pilih meja yang agak sudut, supaya lebih sunyi dan orang bisa memperkirakan posisi.

Saya kadang-kadang tidak bisa menyembunyikan kedongkolan, ketika pada posisi yang sudah demikian, masih saja orang tidak mengerti. Seharusnya siapa pun bisa berpikir. Punya otak. Apalagi jika berkali-kali kita lihat bungkusan rokok. Memelototi.

banner 72x960

Akan tetapi ada orang yang tidak berbeban. Begitu duduk, lalu menarik sebatang, mengambil korek, dan membakarnya. Menghembuskan asapnya juga dengan tidak berpikir kanan-kiri. Dan itulah yang terjadi.

Menjelang kami bubar, mau pulang, datang dua orang dewasa. Saya tidak yakin orang ini tidak tahu apa-apa. Kecuali mentalitasnya yang bermasalah. Duduk di belakang kami. Persis meja di sebelah kami. Lalu masing-masing mengeluarkan bungkusan rokok dan menghisapnya. Tidak ada beban. Sengaja saya geser pandang ke arah kedua orang ini. Ia membenarkan posisi duduk.

Saya tidak bilang apa-apa. Saya geram dengan perilaku semacam ini. Karena ada anak-anak. Saya sering kalah ketika berhadapan dengan kepentingan perokok semacam ini. Seharusnya dengan memandangi asapnya, mengipas-ngipas asapnya, membuat orang sudah mengerti. Tetapi tidak di tempat ini.

Saya ingin sekali menyampaikan kepada banyak orang. Pertama, mentalitas orang untuk merokok pada tempat yang tepat, sangat penting. Jangan merasa hanya karena mampu membeli rokok, lalu semua orang harus bertekuk lutut pada egoisme rokok kita.

Kedua, tempat kuliner semacam ini, padahal sudah terkenal pula, seyogianya sudah menyediakan kawasan yang tidak ada asap rokok. Pengusaha menyediakan tempat khusus bagi perokok. Jangan biarkan anak-anak bercampur dengan para perokok yang tidak bisa memahami diri. Akan hancur generasi di tempat para perokok yang tidak tahu diri.

Mohon maaf, kolom ini saya tulis bukan dalam kondisi saya sedang stabil. Jika pun ada yang marah, silakan saja. Mudah-mudahan yang mampu membeli rokok, tidak beralasan tidak punya kemampuan untuk kurban. []

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar

Sudah ditampilkan semua