Darud Donya Kembali Surati Pemerintah: Pindahkan Proyek IPAL di Gampong Pande

waktu baca 7 menit
Sejumlah batu nisan bekas peninggalan sejarah di Gampong Pande, Banda Aceh, terancam musnah akibat proyek pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). (Foto: Dok. Darud Donya)
banner 72x960

Theacehpost.com | BANDA ACEH – Ketua Yayasan Darud Donya, Cut Putri, kembali menyurati pemerintah pada Rabu, 14 April 2021, terkait polemik pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di Gampong Pande yang berkepanjangan.

Surat perihal pemberhentian pembangunan proyek IPAL Kota Banda Aceh dengan nomor 16/SP/IV/2021 itu ditujukan kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Cq. Dirjen Cipta Karya dan Wali Kota Banda Aceh.

Surat tersebut juga ditembuskan kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Banda Aceh dan Kepala Balai Prasarana Permukiman Wilayah Aceh.

Sebelumnya, pihaknya juga pernah menyurati Menteri PUPR pada 14 September 2020 tentang Relokasi Proyek IPAL Banda Aceh.

Dalam surat anyar yang dikirim itu, Darud Donya menyampaikan bahwa rencana kelanjutan pembangunan proyek IPAL di Gampong Pande, Kota Banda Aceh, telah membuat kekisruhan dan polemik yang meluas di tengah masyarakat.

“Pembangunan IPAL mendapat penolakan keras masyarakat, mengingat proyek ini telah memusnahkan bukti-bukti sejarah, merusak nilai dan citra kawasan situs sejarah pusaka budaya tertua di Banda Aceh, yaitu kawasan situs sejarah Istana Darul Makmur Bandar Aceh Darussalam di Gampong Pande,” kata Cut Putri, Rabu, 14 April 2021.

Berikut isi surat Darud Donya kepada Menteri PUPR dan Wali Kota Banda Aceh:

1. Proyek IPAL Gampong Jawa, yang secara administratif terletak di wilayah administratif Gampong Pande, telah mendapat penolakan keras dari masyarakat Aceh sejak tahun 2017. Untuk mengantisipasi pergolakan masyarakat, maka DPRK Banda Aceh saat itu mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Gedung DPRK Banda Aceh, tanggal 13 September 2017, yang dipimpin oleh Ketua DPRK Banda Aceh dan dihadiri antara lain oleh para anggota Komisi C dan Komisi D DPRK Banda Aceh, Wakil Wali Kota Banda Aceh, Darud Donya, para tokoh sejarawan, para ulama Aceh, para pemangku adat Aceh, tokoh-tokoh masyarakat Aceh, komunitas dan lembaga pegiat sejarah Aceh, Warga Gampong Pande, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Aceh dan pihak terkait lainnya, berkesimpulan dan sepakat untuk menghentikan pembangunan IPAL di Gampong Pande, dan merelokasi/memindahkan proyek IPAL ke tempat lain.

Hasil RDPU ini ditindaklanjuti dengan surat Pimpinan DPRK Banda Aceh kepada Wali Kota Banda Aceh Nomor 640/2925 tanggal 9 Oktober 2017 perihal Pemberhentian Pembangunan IPAL.

Atas dasar surat Pimpinan DPRK tersebut diatas maka Wali Kota mengirimkan surat Nomor 640/092 kepada Kepala Satker Pengembangan penyehatan Lingkungan Permukiman Strategis Dirjen Cipta Karya di Jakarta, tanggal 12 Oktober 2017 perihal Pemberhentian Pembangunan IPAL.

Setelah dihentikan selama lebih dari tiga tahun, Wali Kota Banda Aceh kemudian mengirimkan surat kepada Menteri PUPR RI Cq. Dirjen Cipta Karya, Nomor 660/0253, tanggal 16 Februari 2021, perihal Lanjutan Pembangunan IPAL Kota Banda Aceh.

Rencana kelanjutan pembangunan IPAL ini telah menyebabkan terjadinya kekisruhan di Aceh dan mendapat protes lebih keras lagi dari masyarakat Aceh, karena proyek IPAL telah lama dihentikan secara resmi atas kesepakatan bersama semua pihak.

Protes keras juga datang dari dunia Internasional, termasuk dari Turki, Inggris dan dari organisasi internasional The Malay And Islamic World Organization /Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI).

2. Sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, pasal 31, ayat 5 serta penjelasannya, menjelaskan bahwa perlakuan terhadap situs/kawasan situs yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya maupun yang diduga sebagai situs/kawasan situs agar budaya adalah sama.

Hal ini berlaku bagi benda, bangunan, struktur, atau lokasi kawasan yang dianggap telah memenuhi kriteria sebagai cagar budaya, yaitu dilindungi dan diperlakukan sebagai benda dan/atau kawasan cagar budaya sesuai UU Nomor 11 Tahun 2010.

Kawasan situs sejarah Gampong Pande dikenal sebagai kawasan situs sejarah Istana Darul Makmur Bandar Aceh Darussalam, yang berisi ribuan situs makam para raja dan ulama Kesultanan Aceh Darussalam, juga terdapat struktur-struktur bangunan kuno, penemuan artefak-artefak serta berbagai macam objek bersejarah lainnya.

Kawasan Situs Sejarah ini sudah diteliti dan diakui oleh berbagai pihak, antara lain:

a. Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Banda Aceh pada tahun 1988 mengadakan seminar hari jadi Kota Banda Aceh, menetapkan bahwa hari jadi Kota Banda Aceh adalah tanggal 1 Ramadhan 601 H, hari Jumat bertepatan tanggal 22 April 1205 M. Tanggal ini didasarkan kepada permulaan pemerintahan Sultan Johan Syah pendiri Kerajaan Aceh Darussalam, yang mendirikan Istana sebagai pusat kerajaan di Gampong Pande dengan ibu kota kerajaan bernama Bandar Aceh Darussalam.

b. Tahun 2014 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banda Aceh bekerja sama dengan Balai Arkeologi Sumatera Utara mengadakan penelitian dan pendataan tinggalan arkeologis di seluruh kawasan situs Gampong Pande termasuk di lokasi pembangunan IPAL sekarang.

c. Tim Terpadu Penelitian Lokasi Pembangunan IPAL Kota Banda Aceh tahun 2017, yaitu tim yang dibentuk secara resmi oleh Wali Kota Banda Aceh dengan keputusan Wali Kota Banda Aceh Nomor 401 Tahun 2017, yang hasil penelitiannya dipresentasikan dihadapan Wali Kota dan pemangku kepentingan lainnya pada tanggal 22 November 2017 di Kantor Wali Kota Banda Aceh.

Hasil penelitian membuktikan bahwa di area IPAL terdapat singkapan struktur bangunan kuno, juga terdapat benda-benda arkeologis lainnya dan ditemukan berbagai macam artefak juga makam-makam dengan nisan-nisan kuno, dan lain-lain.

Hasil kajian tim tersebut menyatakan bahwa: “Dari observasi dan identifikasi maka disimpulkan bahwa lokasi IPAL adalah situs arkeologi. Sebagai situs arkeologi maka lokasinya menjadi situs cagar budaya, dan benda-benda kuno yang berada di dalamnya menjadi benda cagar budaya yang dilindungi undang-undang dari pemusnahan.

Walaupun belum diusulkan sebagai situs dan benda cagar budaya lalu ditetapkan menjadi aset negara, benda-benda kuno beserta lokasinya ini merupakan warisan budaya dari masa lampau yang mempunya nilai dan arti yang penting.

Dengan demikian, bukan berarti dengan begitu saja dapat dimusnahkan dengan alasan apapun. Lokasi IPAL merupakan bagian integral dari WILAYAH INTI Kesultanan Aceh Darussalam”. Demikian Hasil Kajian Tim bentukan Walikota Banda Aceh.

d. Hasil penelitian dan kajian oleh berbagai pakar dari Aceh dan luar Aceh.

Berdasarkan uraian butir-butir diatas maka jelas bahwa kawasan situs Gampong Pande beserta seluruh tinggalan arkeologis didalamnya, telah memenuhi syarat sebagai Kawasan dan Situs yang harus diperlakukan dan dilindungi sama sebagaimana situs/kawasan situs cagar budaya sesuai UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Apalagi Walikota Banda Aceh menyatakan bahwa hasil kajian Zonasi Kawasan Situs Gampong Pande menunjukkan bahwa lokasi proyek IPAL terletak di Zona Inti II.

Kawasan Zona Inti (baik Zona Inti I, II, III, dan seterusnya) adalah mutlak untuk dipertahankan keaslian cagar budaya dan dilarang untuk diadakan pembangunan sesuatu atau dilakukan kegiatan apapun yang diluar dari tujuan pelestarian dan penelitian.

Pembangunan proyek IPAL di zona inti jelas bertentangan dengan UU Cagar Budaya.

Apalagi Pemerintah Kota Banda Aceh berencana akan menggusur dan membongkar situs-situs sejarah makam para raja dan ulama di area proyek IPAL dan memindahkannya ke lokasi lain yang telah ditentukan oleh Pemko Banda Aceh.

Hal ini jelas akan menghilangkan keaslian dan memusnahkan situs/kawasan situs diduga cagar budaya di zona inti dan jelas melanggar UU Cagar Budaya.

3. Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Nomor 5 Tahun 2020 tentang Pemeliharaan Situs Sejarah dan Cagar Budaya Dalam Perspektif Syari’at Islam, menetapkan diantaranya bahwa “Hukum menghilangkan, merusak, mengotori dan melecehkan nilai-nilai cagar budaya Islami adalah Haram”.

Maka MPU Aceh meminta kepada pemerintah Aceh, pemerintah kabupaten/kota untuk melestarikan dan tidak menggusur situs sejarah dan cagar budaya dalam rangka pembangunan di Aceh.

4. Warga Gampong Pande Banda Aceh secara resmi telah menolak kelanjutan pembangunan proyek IPAL, melalui suratnya atas nama Forum Masyarakat Penyelamat Situs Sejarah Gampong Pande (FORMASIGAPA) kepada Menteri PUPR Cq. Dirjen Cipta Karya dan Wali Kota Banda Aceh, Nomor 001/GP-F/III/2021, tanggal 14 Maret 2021, perihal Penolakan dan Pemberhentian Pembangunan IPAL Kota Banda Aceh.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka Darud Donya meminta kepada Menteri PUPR RI dan Wali Kota Banda Aceh untuk menghentikan pembangunan proyek IPAL di Gampong Pande dan memindahkannya ke lokasi yang lain.

Agar kawasan situs sejarah Istana Darul Makmur Bandar Aceh Darussalam di Gampong Pande dapat dipertahankan keaslian, citra dan nilainya sebagai kawasan situs sejarah pusat peradaban Islam di Asia Tenggara.

Darud Donya juga meminta kepada Menteri PUPR RI dan Wali Kota Banda Aceh, agar dalam melaksanakan proyek-proyek pembangunan, hendaknya mematuhi peraturan perundang-undangan dan menghormati kearifan lokal yang berlaku di Aceh, agar tidak menimbulkan kekacauan dan kegaduhan yang berkepanjangan. []

Baca juga: MPU Banda Aceh Menolak Kelanjutan Proyek IPAL, Segera Terbitkan Tausiah

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *