Cara Hidup

waktu baca 3 menit
Sulaiman Tripa
banner 72x960

BERBICARA tentang kampung, tidak selalu bermakna ingin kembali ke masa lalu. Waktu tidak mundur ke belakang. Jika kita belajar tentang sesuatu, maka apa yang sudah pernah kita lalui, ia akan menjadi pelajaran bagi kita. Ada orang yang berhasil mengambilnya dengan baik. Tidak sedikit orang yang mengabaikan pelajaran hidupnya berlalu begitu saja. Konteks berbicara kampung ini yang sering harus didudukkan.

Dengan begitu, apakah ketika berbicara tentang kampung itu membuat kita akan berkemampuan sebatas kampung? Tentu juga tidak selalu. Dengan era yang semakin terbuka, duduk di ujung kampung pun, jika ada kemauan untuk mendalami apa yang terjadi, serta mau belajar tentang berbagai hal tentang kehidupan, tidak heran orang kampung pun bisa bersaing dengan cara berpikir orang-orang yang tidak di kampung.

Saya dulu teringat ketika masuk perguruan tinggi. Saat awal kuliah, kami harus masuk masa orientasi studi, yang waktu itu prosesnya jauh lebih berat dibandingkan sekarang. Senior sangat berkuasa, terutama ketika dalam seminggu itu. Seingat saya tidak ada yang melakukan sesuatu terhadap fisik.

Kami memiliki emosional yang lebih tinggi, mungkin jika dibandingkan dengan yang sekarang. Pada saat itu, ketika masa orientasi, secara tidak langsung saya bisa mendapatkan gambaran bahwa sebagian besar berasal dari kampung-kampung.

Kesan ber-kampung, setidaknya dapat dilihat dalam dua konteks. Di satu sisi orang akan berbicara seolah-olah konteks pertama ini hanya terkait dengan bagaimana cara orang berkehidupan di kampung. Di sisi lain, tidak mungkin melupakan konteks lain, mempersoalkan kampung sebagai posisi yang selalu tidak up to date. Istilah yang terakhir ini, barangkali setara dengan apa yang disebut orang-orang sebagai meugampong (dalam bahasa Aceh).

Dalam bahasa Indonesia, meu (dalam bahasa Aceh) itu bisa sepadan dengan awalan ber. Saya menangkan dua makna. Makna yang satu menunjuk hidup yang bernilai kampung. Makna yang lain mempertegas hidup yang hanya berbatas (di) kampung. Saya kira kedua makna ini jauh berbeda.

Jika melihat dalam konsep, orang bisa berpersepsi seolah-olah mereka yang merantau jauh dengan kedua makna ini. Padahal tidak demikian. Orang-orang yang merantau, bukan berarti jauh dari cara kampung. Saya teringat bagaimana orang-orang Aceh yang di luar negeri, yang sebagian besar mempertahankan identitasnya. Bahkan terhadap anak-anaknya.

Beberapa waktu yang lalu, dalam acara tertentu, mereka juga mengirimkan sesuatu ke kampung. Momen meugang atau kurban, selalu saja ada persaudaraan orang rantau yang memikirkan ke kampung. Ini menandakan bahwa mereka berjarak dengan kampung dalam makna lokasi, tetapi dekat dalam makna ingatan.

Saya tidak ingin menggunakan konsep yang satu lagi, yang dikesankan seolah-olah kampung terkait dengan cara berpikir. Jangan ada klaim seolah-olah cara berpikir tertinggal selalu mereka yang berada di kampung. Itu tidak selalu benar. []

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar

Sudah ditampilkan semua