Biaya yang Harus Dibayar Mahal Jika Lockdown, RI Bangkrut?

waktu baca 3 menit
Ilustrasi: Sejumlah toko dan pusat pembelanjaan tutup saat hari pertama lockdown nasional di Kuala Lumpur, Malaysia, Selasa, 1 Juni 2021. (Foto: Bloomberg/Samsul Said)
banner 72x960

Theacehpost.com | JAKARTA – Kasus positif Covid-19 terus menanjak pasca-lebaran. Pada Selasa, 22 Juni 2021, kasus Covid-19 bertambah 13.668 orang, sehingga totalnya menjadi 2,018 juta orang.

Dalam penanganannya, pemerintah membuat kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro.
Namun lebih ketat dari biasanya.

Salah satu poinnya mewajibkan para pekerja bekerja dari rumah sebanyak 75% untuk zona merah, dan 50% untuk di luar zona merah. Kebijakan itu mendapat kritik dari banyak pihak.

Wacana lockdown kembali dikemukakan ketimbang pilihan pemerintah yang dianggap tidak akan sanggup menangani penyebaran Covid-19. Apalagi varian baru terbukti lebih ganas.

Pada tahun lalu, saat Covid baru tiba di tanah air, pemerintah memberlakukan pembatasan yang lebih ketat yaitu PSBB. Dalam teorinya, kebijakan tersebut hampir mendekati lockdown sebab mobilitas penduduk sangat terbatas.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat memikirkan lockdown seperti halnya banyak negara lain.

Namun saat dibahas dengan jajaran menteri, hitungannya tidak cocok, baik dalam penghentian penyebaran Covid hingga keuangan negara.

“Untuk Jakarta saja, pernah kami hitung-hitungan per hari membutuhkan Rp 550 miliar. Hanya Jakarta saja. Kalau Jabodetabek tiga kali lipat. Itu per hari,” kata Jokowi saat itu.

Dana yang dimiliki pemerintah tahun lalu sekitar Rp 2.500 triliun. Sehingga Jokowi merasa negara mampu mengeluarkan dana bila pilihannya lockdown.

Akan tetapi, karena efektivitasnya rendah, maka mengeluarkan dana sebesar itu dianggap sia-sia.

“Jadi dalam memutuskan setiap negara itu beda-beda. Karena karakternya beda, tingkat kesejahteraannya beda, tingkat pendidikan beda, tingkat kedisiplinan berbeda, geografis berbeda, kemampuan fiskal berbeda. Nggak bisa kita disuruh meniru negara lain,” kata Jokowi kala itu.

Kementerian Keuangan menjamin anggaran kesehatan yang telah dikucurkan pemerintah sebesar Rp 172,84 triliun dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) masih cukup untuk penanganan Covid-19, di tengah tingginya lonjakan kasus.

Hal tersebut disampaikan oleh Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara dalam konferensi pers APBN Kita, dikutip Selasa, 22 Juni 2021.

“Ini jadi sangat penting, kita telah siapkan pagu yang cukup, apalagi saat kita menghadapi kenaikan kasus Covid-19 sehingga ini bisa digunakan untuk menangani dan antisipasi kenaikan Covid-19 ke depan,” jelas Suahasil.

Sayangnya, realisasi anggaran untuk klaster kesehatan hingga 18 Juni tercatat baru mencapai Rp 29,55 triliun atau 22,9% dari pagu yang sebesar Rp 172,84 triliun.

Anggaran kesehatan kata dia telah memberikan manfaat untuk belanja diagnostik testing dan tracing sebesar Rp 250 miliar atau baru mencapai 3,8% dari pagu yang sebesar Rp 6,68 triliun.

Realisasi testing yang masih rendah tersebut karena masih menggunakan stock reagen test PCR dan rapid antigen yang ada di Kemenkes, BNPB, dan hibah dari WHO.

Adapun jumlah testing sampai dengan 18 Juni 2021 sebanyak 132.200 dan rata-rata mingguan mencapai 100.300, naik dari minggu lalu yang mencapai 93.000.

Belanja kesehatan juga digunakan untuk therapeutic sebesar Rp 18,19 triliun, antara lain biaya klaim perawatan Rp 13,96 triliun, insentif-santunan tenaga kesehatan Rp 4,22 triliun.

“Vaksinasi kami anggarkan Rp 58,11 triliun sudah terealisasi Rp 9,27 triliun berarti masih cukup,” tuturnya.

Selain itu, ada belanja untuk penelitian dan komunikasi sebesar Rp 5 miliar, BNPB Rp 660 miliar, bantuan iuran JKN Rp 260 miliar, insentif perpajakan kesehatan termasuk PPN dan Bea Masuk Vaksin Rp 3,1 triliun, serta penanganan kesehatan lainnya pada daerah Rp 7,81 triliun.

Dengan demikian, Suahasil mengatakan bahwa APBN memiliki anggaran yang cukup untuk penanganan Covid-19.

“Kesiapan dari APBN untuk penanganan kesehatan ini, kita memiliki anggaran yang cukup untuk penanganan Covid. Dan tentu perlu dipakai sesuai dengan tata kelola yang berlaku, tata kelola yang baik,” pungkasnya. []

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *