Belah Bambu

waktu baca 3 menit
Sulaiman Tripa
banner 72x960

Oleh: Sulaiman Tripa

KETIKA orang tua saya masih hidup, saya sering diajaknya ke kebun. Kami memiliki sejumlah petak kebun sendiri, dan beberapa kebun yang dipercayakan orang untuk dikelola orang tua saya. Untuk konsep pengelolaan, dalam masyarakat kampung memiliki konsep sendiri yang bisa saja berbeda antar masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Semua kebun biasa ditanami orang tua saya. Dengan sejumlah tanaman produktif.

Saya tidak memahami secara mendalam bagaimana munculnya konsep pembagian hasil dari kebun yang dikelola. Yang jelas, dalam masyarakat itu akan ditemukan pohon milik orang pada lahan yang bukan miliknya. Jika kita telusuri proses pengelolaan yang tadi, keadaan semacam itu bisa saja terjadi.

Ada pohon kita, di tanah orang lain. dalam sepetak tanah, akan ditanami dengan sejumlah pohon produktif. Pohon yang umumnya menghasilkan. Bisa jadi pohon yang menghasilkan buahnya untuk dimanfaatkan hasilnya. Atau pohon yang suatu saat akan digunakan batangnya untuk papan dan semacamnya.

Selama ini saya merasakan banyak kondisi seperti itu. orang yang memiliki lahan, bisa jadi tidak mampu mengelola dengan baik. Makanya lahan tersebut diserahkan kepada orang lain untuk dikelola. Orang yang memanfaatkan lahan tersebut, akan menanam pohon-pohon yang hasilnya kelak akan dibagi sedemikian rupa. Lahan tetap milik orang tertentu, dengan kepemilihan pohon di dalamnya, akan berbeda-beda setelah dibagi.

Posisi berbeda ini juga saya lihat dari orang tua saya. Letak kebun juga berbeda-beda. Ada lokasi yang mudah ditempuh. Ada lokasi yang jauh, yang tidak bisa dipantau terus-menerus. Ke kebun yang jauh itu, kadang-kadang akan dikunjungi hanya sekali dalam seminggu. Untuk ke sana juga akan disediakan waktu khusus. Saat dikunjungi itu akan dilihat berbagai keadaan dan situasi terkait kondisi kebun.

Hal yang dilihat, utamanya pagar. Lokasi kebun yang jauh dari pantauan, akan disiapkan pagar yang rapi. Saya mempelajari yang agak familiar digunakan untuk kebun yang banyak gangguan adalah bambu. Bisa saja dipasang bersamaan dengan kawat duri. Posisi batang bambu yang dibelah, sepertinya sangat kokoh untuk berbagai gangguan binatang. Babi sering dianggap sebagai hama paling dominan merusak tanaman. Pagar yang kokoh antara lain untuk menghindari gangguan-gangguan babi tersebut.

Pohon bambu akan dibawa dari tempat lain. Sesampai di kebun biasanya baru dibelah. Ada teknik belah yang terlihat sangat mudah. Dengan menggunakan parang, akan dibelah sedikit dipangkalnya. Setelah itu, akan dipegang masing-masing belahan di ujungnya, yang satu diangkat dan satu lagi ditekan dengan menggunakan kaki.

Saya melihat betapa mudahnya ketika bambu dibelah. Saya diajarkan tentang selah –orang Aceh menyebut begitu. Semakin memahami selah, semakin memudahkan apa yang dilakukan. Posisi bambu sendiri terbelah dengan mudah. Masalahnya adalah ada yang diangkat, dan ada yang ditekan, dengan diinjak dengan kaki. Mereka yang diangkat akan melambung, sedangkan yang diinjak akan terbenam.

Jangan digunakan hal ini untuk kehidupan. Karna orang yang dilambung akan semakin mendapat tempat, sedangkan yang diinjak akan terbenam bersama lumpurnya. Dalam politik, mereka yang berposisi sebagai lawan sering diinjak-injak hingga terbenam. Mereka yang kawan, lalu diangkat setinggi-tingginya. []

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar

Sudah ditampilkan semua