Aceh Sekarang Jauh dari Ajaran Syekh Abdurrauf as-Singkili

waktu baca 4 menit
Dr Damanhuri Basyir, M.Ag. (Foto: IST)

Theacehpost.com | BANDA ACEH – Ulama memiliki peran penting dalam sistem pemerintahan di Aceh pada masa lalu. Hal inilah yang membuat Aceh pada masa lalu lebih maju dibandingkan sekarang.

Dari sekian ulama yang berperan dalam sistem pemerintahan di Aceh pada masa lalu, terdapat Syekh Abdurrauf as-Singkili.

“Syekh Abdurrauf as-Singkili asli Aceh yang lahir di Singkil. Ada yang mengatakan bahwa keturunan Batak, tetapi dalam hidupnya tidak pernah mencantumkan marga seperti kebiasaan penduduk Singkil kita di sana,” kata Pakar Tasawuf UIN Ar Raniry, Dr Damanhuri Basyir, M.Ag, dalam kajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) Aceh di Banda Aceh, Rabu malam, 3 Maret 2021.

Damanhuri yang telah mencetak buku tentang Syekh Abdurrauf tersebut mengatakan, dalam sejarah hidupnya, Syekh Abdurrauf pernah menghabiskan waktu untuk belajar selama 19 tahun di Timur Tengah.

Selama menempuh pendidikan di jazirah Arab, Syekh Abdurrauf juga disebut tidak pernah menikah. Ulama yang belakangan dikenal oleh warga lokal dengan sebutan Teungku Syiah Kuala tersebut baru menikah ketika pulang ke Aceh.

banner 72x960

Syekh Abdurrauf as-Singkili lebih dikenal sebagai sosok ulama tasawuf, yang juga menjabat sebagai mufti kerajaan di masa Sultanah Safiatuddin berkuasa di Aceh.

Ulama ini juga pernah mendirikan sekolah di Kampung Mulia, salah satu pemukiman penduduk yang jaraknya tidak jauh dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Aceh.

Syekh Abdurrauf semasa hidupnya pernah menerbitkan beragam kitab dalam bahasa Arab dan Melayu.

Topik kajian yang menjadi fokus Syekh Abdurrauf adalah interpretasi (tafsir), skolastik teologi (kalam), sufisme (tasawuf) dan hukum Islam (fiqih).

Beberapa judul karya ulama asal Aceh ini seperti Aturan Fiqh untuk Berbagai Kegiatan (Mir’ât al Thullab fi Tasyil Ma’rifah al Ahkâm al Syar’iyyah li al Mâlik al-Wahhab), ‘Umdat al-Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufridin (sufisme), Lubb al-Kashf wa al-Bayan li Ma Yarahu al-Muhtadar bi al-‘Iyan (doa dzikir untuk persiapan kematian), dan Kitab al-Fara’idh (hukum waris).

Selain itu, Syekh Abdurrauf juga menulis kitab Tarjuman al-Mustafid (tafsir Alquran, kebanyakan dari tafsir al-Jalalain), Al-Arba’in Haditsan li al-Imam al-Nawawiyah (penjelasan dari empat puluh hadits Al-Nawawi), Al-Mawa’iz al-Badi’ (kumpulan hadits qudsi), Kifayat al-Muhtajin ila Masharab al-Muwahhidin al-Qa’ilin bi Wahdat al-Wujud (sufisme) Daqa’iq al-Huruf (sufisme), Risalah Adab Murid akan Syaikh (sufisme), dan Risalah Mukhtasarah fi Bayan Shurut al-Shaykh wa al-Murid (sufisme).

Selain kitab-kitab itu, Syekh Abdurrauf as-Singkili juga menulis kitab Mawaizul Badi’ah. Di dalam kitab inilah menurut Damanhuri diketahui bahwa leluhur Aceh pada masa lalu akrab dengan makhluk gaib seperti jin.

“Banyak orang Aceh yang memainkan jin, sebelum Islam masuk ke daerah ini,” kata Damanhuri.

Sebagai seorang sufi terkemuka di sebuah kerajaan yang besar se-Asia Tenggara pada masa itu, Syekh Abdurrauf memiliki banyak murid. Salah satunya adalah Baba Rumi, seorang alim ulama asal Turki.

Damanhuri mengatakan Baba Rumi merupakan seorang ulama yang pernah datang ke tempat Syekh Abdurrauf dengan membawa dua guci berisi uang dari tempat asalnya yang makmur. Guci tersebut berukuran besar dengan tinggi mencapai dada manusia.

Saat itu, menurut Damanhuri, ulama dari Turki yang belajar pada Syekh Abdurrauf tersebut sengaja membawa uang banyak untuk membantu dakwah Islam di kawasan Aceh.

Namun, pemberian ini ditolak oleh Syekh Abdurrauf yang mengatakan bahwa uang tidak akan membantu dakwah, melainkan Allah.

“Ini berbeda dengan kondisi sekarang, banyak yang berlomba-lomba mendapatkan uang bahkan dalam berdakwah. Sampai-sampai banyak orang berlomba-lomba membangun masjid yang megah, akan tetapi tidak ada jamaah yang salat di sana,” kata Damanhuri.

Kondisi perpolitikan Aceh masa Syekh Abdurrauf disebut juga sering dalam kemelut, terutama dalam hal perebutan pucuk kekuasaan.

Namun, berkat kearifan dan keilmuan Syekh Abdurrauf, segala perbedaan pandangan politik tersebut dapat kembali aman.

Di masa Syekh Abdurrauf hidup pula sistem pemerintahan di Aceh diatur dengan baik, seperti adanya kriteria-kriteria khusus bagi seorang pemimpin, baik dari level pemerintahan terkecil di tingkat keuchik hingga sultan.

“Ada 16 kriteria menjadi seorang pemimpin, itu untuk keuchik saja, lain untuk mukim dan sultan juga seorang ulama. Mungkin kalau sekarang ditetapkan kriteria tersebut, banyak yang tidak lulus,” kata Damanhuri.

Sistem pemerintahan tersebut kemudian juga dikuatkan dalam Qanun Meukuta Alam Al Asyi yang hingga saat ini dipergunakan oleh Kesultanan Brunai Darussalam.

Tak hanya itu, banyak negara-negara lain di luar Aceh yang hingga saat ini masih menerapkan ajaran-ajaran yang disampaikan oleh Syekh Abdurrauf. Salah satunya adab ketika membuka sebuah forum, tata cara hidup, dan banyak hal lainnya.

Menurut Damanhuri banyak sendi-sendi kehidupan yang dipraktikkan sekarang ini jauh dari ajaran Syekh Abdurrauf as-Singkili, bahkan di masjid sekalipun.

Dia mencontohkan seperti toilet buang air kecil untuk pria yang harus berdiri. Padahal menurutnya itu jauh dari ajaran Islam yang pernah berkembang pada masa lalu di Aceh.

“Di (masjid) Aceh, tempat kencing berdiri, dirancang oleh insinyur, saya tidak tahu dari mana asal idenya tersebut,” kata Damanhuri lagi. []

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *