19 Tahun Syariat Islam di Aceh

waktu baca 4 menit
Kepala Subbag Program dan Pelaporan Satpol PP dan WH Aceh, Mukhsin Rizal. (Foto: Dokpri)
banner 72x960

Oleh Mukhsin Rizal. S.Hum., M.Ag.,M.Si *)

SEMBILAN belas tahun yang lalu, tepat pada tanggal 14 Oktober 2002, Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Bapak Abdullah Puteh menandatangani Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Akidah, Ibadah dan Syiar Islam.

Kemudian Qanun (peraturan daerah/Perda) tersebut diundangkan oleh Sekretaris Daerah Provinsi NAD, bapak Thanthawi Ishak pada tanggal 15 Oktober 2002 dan dicatat dalam lembaran daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2002 Nomor 54 Seri E Nomor 15.

Qanun tersebut merupakan Perda yang lahir setelah lahirnya peraturan daerah provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam, dan Qanun NAD Nomor 10 tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam.

Setelah lahirnnya Qanun 11 tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang Akidah, Ibadah dan Syiar Islam, disusul dengan lahirnya Qanun 12 tahun 2003 tentang Khamar dan sejenisnya, kemudian  Qanun 13 tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian) dan Qanun 14 tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum).

Qanun 12, 13 dan 14 tahun 2003 kemudian dicabut dan dimasukkan substansi materinya kedalam Qanun 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.

Pada tulisan kali ini, saya tidak membahas kompilasi qanun tersebut, tetapi akan melihat substansi materi Qanun NAD Nomor 11 tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam.

Qanun 11/2002 tersebut sebagai pedoman pelaksanaan syariat Islam di bidang akidah, ibadah dan syiar Islam. Pengaturannya bertujuan untuk membina dan memelihara keimanan dan ketakwaan individu dan masyarakat serta mencegah dari pengaruh ajaran sesat

Selain membina, tujuan qanun tersebut juga untuk meningkatkan pemahaman dan pengamalan ibadah serta menghidupkan dan menyemarakkan kegiatan-kegiatan guna menciptakan suasana dan lingkungan yang islami.

Qanun tersebut mengamanahkan tanggung jawab untuk membimbing, membina, serta mengawasi masyarakat dari pengaruh paham atau aliran sesat kepada kabupaten/kota dan institusi masyarakat.

Kepada keluarga diamanahkan untuk bertanggungjawab terhadap penanaman akidah yang benar.

Sedangkan bentuk-bentuk paham atau aliran yang sesat ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU).

Pengamalan Ibadah dan Syiar Islam

Terkait pelaksanaan ibadah, Qanun 11/2002 tersebut memerintahkan seluruh institusi untuk menyediakan fasilitas dan menciptakan suasana yang kondisi untuk beribadah.

Tidak hanya itu larangan untuk menghentikan kegiatan yang dapat menghalangi/mengganggu orang Islam melaksanakan ibadah Jumat juga diatur dan bagi orang Islam laki-laki yang yang tidak melaksanakan shalat Jumat tiga kali berturut-turut tanpa uzur syar’i  akan dikenakan ancaman hukuman penjara paling lama enam bulan atau hukuman cambuk paling banyak 3 tiga kali.

Muatan substansi qanun tersebut juga mengatur agar instansi pemerintah, lembaga pendidikan, badan usaha, wajib menggalakkan dan menyediakan fasilitas untuk shalat berjamaah.

Perintah tersebut diperkuat dengan Instruksi Gubernur Provinsi NAD Nomor 06/ INSTR/2002 tentang Pelaksanaan Shalat berjamaah di Lingkungan Kantor/Instansi/Badan/Lembaga/Dinas dalam Provinsi NAD.

Selain itu, Qanun 11 tersebut juga mengatur tentang larangan kepada setiap orang/badan usaha untuk tidak menyediakan fasilitas/peluang kepada orang muslim yang tidak uzur syar’i untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadan.

Bagi yang melanggar akan dikenakan hukuman cambuk enam kali dan bagi badan usaha akan dicabut izin usahanya.

Setelahnya Qanun 11 juga mewajibkan kepada masyarakat untuk berbusana islami (pakaian yang menutup aurat yang tidak tembus pandang, dan tidak memperlihatkan bentuk tubuh), kewajiban tersebut berlaku dan  menjadi tanggung jawab pimpinan di instansi, badan usaha atau institusi masyarakat untuk membudayakan busana islami Dilingkungannya masing-masing.

Substansi pengaturan Qanun 11 tahun 2002, sangat humanis dan ini sangat sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat Aceh. Sehingga ruh dan pelaksanaan qanun tersebut perlu dengan segenap kesadaran dan keikhlasan dilaksanakan secara bertahap oleh semua elemen dan lapisan masyarakat.

Jika pelaksanaan peraturan daerah ini berjalan dengan baik, maka kita akan mendapatkan kehidupan sosial budaya masyarakat Aceh sesuai dengan yang diinginkan dan diharapkan.

Perkembangan teknologi dan perkembangan zaman tidak lah menyulutkan semangat masyarakat untuk senantiasa berpegang kepada nilai-nilai keagamaan, apalagi pada persoalan akidah yang memang tidak ada nilai tawar menawar.

Diakhiri tulisan ini, saya coba menggambarkan bahwa kelahiran Qanun 11/2002 sudah 19 tahun artinya, jika ada seorang anak yang lahir tepat pada tanggal 14 Oktober 2002 maka saat ini dia telah dewasa. Artinya, perlu adanya kesadaran kita bersama untuk menjaga, memelihara dan membina diri kita, keluarga dan lingkungan kita.

Nilai-nilai yang terlahir dalam masyarakat tidak boleh hilang. Jika nilai-nilai tersebut hilang, maka hilanglah identitas masyarakatnya. Waallahualam bissawab.

*) Penulis adalah Kepala Seksi Pembinaan dan Penyuluhan Satpol PP dan WH Aceh

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *