Ratusan Manuskrip Aceh Milik Cek Midi Dikonservasi Tim Pusat Preservasi Naskah Kuno Perpusnas
Theacehpost.com | BANDA ACEH – Sebanyak 150 manuskrip Aceh milik kolektor Tarmizi Abdul Hamid dikonservasi oleh Tim Pusat Preservasi Naskah Kuno dan Alih Media Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI. Naskah kuno koleksi pribadi Tarmizi Abdul Hamid (Cek Midi) tersebut dikonservasi untuk pemanfaatan bagi keilmuan Nusantara.
Dalam siaran pers-nya yang diterima Theacehpost.com, Cek Midi menginformasikan, tim bekerja sejak 21 hingga 26 Maret 2021 di kediamannya, ‘Rumoh Manuskrip Aceh’, Jalan Seroja Nomor 8A, Gampong Ie Masen Kayee Adang, Banda Aceh.
Menurut salah seorang anggota tim Pustakawan Ahli dan Preservasi Naskah Kuno Perpusnas RI, Leni Sudiarti, S. Si, Perpusnas memiliki kewajiban untuk melestarikan manuskrip yang ada di Nusantara khususnya manuskrip asli.
Menurut Leni, banyak manuskrip di Nusantara memiliki keasliannya termasuk di Aceh. Untuk itu pihaknya melaksanakan program pemetaan naskah atau manuskrip Nusantara.
Dijelaskannya, manuskrip yang akan diperbaiki terlebih dahulu dilakukan pemetaan. Salah satu yang sudah didata dalam peta naskah Nusantara adalah Rumoh Manuskrip Aceh milik Tarmizi Abdul Hamid.
“Maka tahun ini kami diamanahkan untuk melakukan konservasi di Rumoh Manuskrip Aceh,” kata Leni mengutip siaran pers Tarmizi.
Adapun proses kegiatan perbaikan manuskrip yang dilakukan, menurut Leni meliputi perbaikan fisik naskah dengan membersihkan seluruh lembaran naskah dengan cara disemprot bahan antijamur dan noda kemudian dikeringkan. Selanjutnya ditambal sambung karena mengalami kerusakan yang parah.
Prosesnya termasuk juga penjilidan serta dimasukkan ke cover box sesuai ukuran naskah, di mana cover box telah diberi sampul dengan menggunakan berbagai bahan khusus yang semua ini didatangkan dari luar negeri.
Leni mengungkapkan, kerusakan naskah kuno milik Tarmizi yang ditemukan ada yang rusak berlubang-lubang atau robek karena usang ditelan usia ratusan tahun dan juga disebabkan oleh jamur.
“Dari kerusakan yang kita lihat, kita putuskan untuk dilakukan perbaikan fisik, ada yang ditambal, dijilid kembali sampai dibuatkan kotak penyimpanan,” ujarnya.
Cek Midi menjelaskan, pelestarian manuskrip seperti ini sangat penting dilakukan agar buah karya guratan pena ulama lintas zaman tetap utuh sepanjang masa.
Yang dimaksudkan dengan ulama lintas zaman, menurut Cek Midi walau pun leluhur orang Aceh sudah dipanggil oleh Allah 400 tahun silam, namun karya monumental dan masterpiece mereka tetap melambung tinggi ke seantero Nusantara bahkan dunia.
Nama dan karya intelektual islam Aceh ini hingga kini selalu menjadi referensi keilmuan yang telah digoreskan pada kertas-kertas yang dipesan khusus dari Eropa pada era puncak gilang gemilang Aceh.
“Inilah yang menjadi dasar argumen saya memberi motto manuskrip Aceh ini sebagai Pelita yang tidak Pernah Padam,” kata Cek Midi.
Menurut Cek Midi, jiwanya terpanggil untuk menyelamatkan warisan khazanah yang sangat mulia itu sebagai bentuk tanggung jawab sebagai putra Aceh untuk memberikan bukti otentik kepada siapapun bahwa Aceh negeri di bawah angin yang melekat status sebagai daerah berperadaban yang sangat tinggi.
Cek Midi yang merupakan sarjana agribisnis ilmu pertanian mengakui, meskipun secara keilmuan berbeda dengan apa yang ia lakukan hari ini namun tidak dapat dipungkiri jika sejarah dan peradaban ini menjadi tanggung jawab oleh semua pihak apapun latar belakang dan profesi pekerjaannya.
Cek Midi menceritakan, salah satu alasan dan niat yang terbesit untuk menyelamatkan naskah kuno Aceh itu penting dilakukan ketika dirinya menemukan khazanah keilmuan ini banyak tersimpan di museum-museum dan perpustakaan terkenal di luar negeri.
Karya-karya buah pena indatu Aceh disimpan di tempat ini dengan pengamanan yang sangat ketat. “Begitu cara orang asing menghargai sebuah karya yang sudah menjadi artefak sejarah walau bukan buyut atau indatu mereka,” tulis Cek Midi.
Ia juga mengungkapkan, pengumpulan manuskrip Aceh sudah dilakoninya sejak 1995 namun pada 2004 beberapa manuskrip hilang karena bencana tsunami. Tapi bencana tersebut tak menyurutkan niatnya untuk mengumpulkan dan merawat kembali naskah kuno Aceh hingga saat ini.
Manuskrip koleksi Tarmizi Abdul Hamid ada yang ditempatkan di pameran dunia melayu Islam termasuk Brunei Darussalam.
Kebanyakan manuskrip yang ia dapat banyak berasal dari Aceh Besar, karena Aceh Besar merupakan tuan rumah dari kerajaan Aceh Darussalam, dan orang-orang terdahulu banyak menyimpan manuskrip di rumah-rumah dalam keadaan terbengkalai. Ada juga yang dibawa pulang dari luar negeri atau pemberian orang Aceh yang menetap di luar Aceh.
Ratusan manuskrip yang dikumpulkan Cek Midi untuk direstorasi ada yang berupa mushaf Quran, tafsir, ilmu fiqih, tasawuf, astronomi, ibadah, doa-doa, syair, nazam, dan teknik-teknik pengobatan masa lampau. Semua terangkum dalam khazanah ilmu pengetahuan.
“Sampai sekarang manuskrip yang kita kumpulkan masih seperti tahun-tahun yang lalu, berkisar ratusan, belum ada tambahan koleksi,” kata Cek Midi.
Cara kerja orang luar
Mengutip penjelasan Syukri Rizki, filolog Aceh, pelestarian atau konservasi manuskrip di luar negeri dimulai dari pengoleksian yakni dengan membelinya ataupun dengan hibah dan membayar penyalin.
Manuskrip yang sudah didapatkan kemudian disimpan di tempat yang terjaga, baik terjaga kualitas suhu kelembabannya, tempat penyimpanannya yang bebas dari rayap dan serangga.
Metode pengkajian manuskrip itu sendiri, kata Syukri, terlebih dahulu dilakukan inventarisasi yang sangat detail, kemudian dilakukan katalogisasi seperti deskripsi singkat mengenai fisik dan konten yang dikandung dalam manuskrip. Selanjutnya katalog inilah yang menjadi rujukan utama bagi siapa yang ingin mencari manuskrip tertentu berdasarkan kode.
“Para perawat manuskrip Eropa memiliki fasilitas yang sangat canggih dan lengkap dari sisi penjagaan maupun SDM di bidangnya. Mereka banyak memiliki profesor, para ahli kemudian memberi beasiswa kepada dunia Asia Tenggara, misalnya untuk melakukan penelitian mengakses manuskrip-manuskrip yang belum disunting, dibaca atau dalam hitungan masih baru,” kata Syukri yang juga lulusan Goethe University Frankfurt, Jerman.
Syukri melanjutkan, jika dibandingkan di Indonesia, banyak manuskrip yang terbengkalai hanya dikumpulkan saja lantaran dengan alasan untuk menghargai manuskrip itu sebagai benda pusaka sebuah warisan tanpa ingin mengetahui kontennya. Sehingga yang terjadi adalah tidak disimpan pada tempat yang layak menyebabkan terkena air hujan, embun, kelembaban yang menyebabkan kualitas kertas rusak dan membuat tinta tulisannya menjadi pendar atau tidak bisa dibaca lagi.
“Kita masih sangat kurang dalam hal penjagaan fisik maupun pengkajian konten, sedangkan kampus-kampus dan pusat penelitian di barat menyiapkan segalanya, baik fasilitas fisik, penjagaannya, anggaran untuk mengoleksi hingga para pengkajinya,” tutur Syukri.
Disaksikan pejabat dan mahasiswa
Proses konservasi manuskrip kuno milik Tarmizi Abdul Hamid dihadiri sejumlah pejabat Pemko Banda Aceh termasuk Ketua DPRK Farid Nyak Umar, pejabat provinsi, pejabat Dinas Perpustakaan dan Kearsiapan Aceh, pegiat sejarah, LSM, mahasiswa, masyarakat, dan sejumlah wartawan.
Cek Midi mengucapkan terima kasih kepada tim yang telah bekerja keras untuk capaian target merawat dan melestarikan manuskrip miliknya sekaligus menjaga literasi untuk pemanfaatan keilmuan Nusantara, khususnya Aceh.
“Saya juga mengucapkan terima kasih atas ketulusan hati para pahlawan musafir dari Pusat Preservasi pengobatan naskah kuno Perpusnas RI,” demikianTarmizi Abdul Hamid.[]