E-Sports PUBG Haram, Mengapa Kodam IM Masih Menggelarnya?

waktu baca 4 menit
Teuku Farhan
banner 72x960


Oleh: Teuku Farhan*)

ADA dua ancaman terbesar bagi generasi Aceh ke depan, narkoba dan game online.

Pernyataan ini pertama kali saya dengar sekitar tiga tahun lalu dari mantan Kapolresta Kota Banda Aceh, Kombes Pol Trisno Riyanto pada Safari Subuh Arafah di Masjid Baitus Shalihin, Kecamatan Ulee Kareng, Kota Banda Aceh.

Gubernur Aceh Nova Iriansyah juga mengeluhkan hal serupa.

Dalam suatu momen di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, Nova meminta ulama Aceh untuk mengkaji dampak game online yang semakin meresahkan pemerintah, ulama, dan masyarakat di Aceh.

Pada 2019, MPU Aceh melalui kajian mendalam dengan mendengar pemaparan pakar psikologi, syariat Islam dan teknologi informasi akhirnya menetapkan fatwa haram untuk game PUBG dan sejenisnya.

Bahkan warga Gampong Mayang Cut, Kecamatan, Meureudu, Pidie Jaya (Pijay) beberapa waktu lalu memasang spanduk antimaksiat dalam memerangi berbagai kejahatan moral yang kini semakin meresahkan mental dan jiwa, terutama game online dan narkoba.

Imuem Meunasah Gampong Mayang Cut, Tgk Fakhri mengatakan penyakit sosial atau maksiat lewat gadget berupa judi online serta peredaran barang haram berupa narkoba semakin marak. Akhirnya, warga secara bersama-sama memasang spanduk antimaksiat di berbagai sudut gampong.

Diharamkan di Aceh

Jadi sangat disayangkan ketika pemerintah, ulama, dan masyarakat Aceh sepakat menolak maraknya game online, ternyata ada pihak yang tidak menghormati keistimewaan dan aspirasi masyarakat.

Misalnya, pihak Kodam Iskandar Muda (IM) dikabarkan berencana menggelar turnamen E-Sports PUBG Mobile Piala Kasad Tahun 2022.

Selain mengandung banyak konten kekerasan, adegan yang mirip seperti perilaku teroris, game online ini rentan akan kecanduan gim yang masuk dalam klasifikasi gangguan mental World Health Organization.

Untuk menjadi “atlet profesional” game online ini harus berlatih lebih dari 10 jam sehari dan hal ini sangat merusak produktifitas generasi muda ke depan.

Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk H Faisal Ali juga telah menegaskan bahwa lomba-lomba yang tidak berpedoman pada syariat Islam diharamkan di Aceh.

Ketua MPU Aceh,Tgk. H. Faisal Ali kepada media pada Oktober tahun lalu menegaskan, Aceh tetap mengharamkan lomba-lomba yang tidak berpedoman pada syariat Islam. Salah satunya PUBG Mobile.

Berbeda dengan olahraga

Bermain-main dengan kata ‘sport’ atau ‘‘olahraga’ memang bisa menjerumuskan perspektif kita untuk memandang eSport.

Tapi jika kita lihat pengertian ‘sport’ dari kamus Webster, kata itu memiliki pengertian “sebuah permainan, kompetisi, atau aktivitas yang memerlukan usaha fisik dan kemampuan yang dimainkan berdasarkan aturan, untuk kesenangan dan/atau pekerjaan.”

Sementara pengertian lain mengenai ‘sport’ adalah “segala tipe aktivitas fisik yang orang lakukan untuk tetap sehat atau untuk kesenangan.”

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian olahraga sebagai “gerak badan untuk menguatkan dan menyehatkan tubuh (seperti sepak bola, berenang, lempar lembing).”

Presiden ESPN John Skipper, mengatakan e-Sport bukanlah olahraga, melainkan hanya sebuah kompetisi.

Saya sebagai penulis, ditambah dengan pengertian ‘sport’ dan ‘olahraga’ lainnya, cenderung setuju dengan Skipper. Rasanya memang olahraga harus memiliki unsur atletisme, sedangkan e-Sport tidak.

Dari sejumlah penelitian, para pemain game yang terlalu banyak bermain cenderung kurang memiliki hubungan sosial dan tinggi tingkat depresi, stres, dan kecemasan.

Dalam artikel yang dipublikasi oleh New York Times berjudul “For South Korea, E-Sports Is National Pastime, “Kecanduan video game akan membuat anak-anak jauh dari pendidikan.”

Selain itu, beberapa video game juga mengandung kekerasan, seperti Grand Theft Auto, serial Call of Duty, dan lain-lain, yang bisa mempengaruhi perilaku anak.

Dalam suatu konferensi pers, akhir November lalu, Presiden ESPN menyampaikan secara terang-terangan kepada publik terkait penolakannya atas istilah e-Sports, dan dirinya mengusulkan untuk dihapus saja!

Peter Beuth, politisi asal Jerman yang juga menduduki jabatan Menteri Dalam Negeri dan Olahraga di negara bagian Hesse menandaskan, E-Sports itu tidak ada kaitannya dengan olahraga, kita harus menghapus istilah tersebut,” tukas Beuth, dalam pembahasan esports di Gymnastics & Sports Congress di Darmstadt.

“Saya masih tidak mengerti bagaimana menggerakkan ibu jari dan telunjukmu bisa disebut sebagai bagian dari olahraga, bahkan jika ada yang bergerak di layar sekalipun.”

Kompetisi digital produktif

Di era digital yang serba cepat ini pihak penguasa dituntut untuk dapat beradaptasi sekaligus ekstra hati-hati dalam memilih platform digital untuk hal produktif. Jangan sekadar ikut-ikutan.

Fokuslah pada kompetisi bersifat kreasi, menjadi pencipta (creator) seperti  perlombaan menciptakan aplikasi yang mampu mengatasi masalah di lingkungan masyarakat, membuat game bernuansa kearifan lokal seperti yang pernah dirintis oleh komunitas IT lokal Aceh, MIT Foundation.

Daripada sekadar menjadi pemain dan pengikut yang bahkan merugikan negara secara ekonomi dimana game-game online terpopuler yang beredar di Indonesia ini sebagian besar milik asing dan hanya menguntungkan ekonomi negara lain.

Selain itu kontennya tidak sesuai syariah, ditambah kerusakan moral akibat kecanduan game yang kini telah banyak terjadi.

Untuk itu kami berharap para pengambil kebijakan yang bertugas di Aceh hendaknya menghormati kearifan lokal yang ditetapkan di Aceh untuk menjaga keberlangsungan kehidupan bersyariat di Serambi Mekkah. []

*) Penulis adalah Praktisi IT Aceh dan Direktur Masyarakat Informasi & Teknologi (MIT) Foundation.

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *