Amarah

waktu baca 3 menit
Sulaiman Tripa
banner 72x960

Oleh: Sulaiman Tripa

KEMARIN saya mencuci motor di doorsmers persimpangan masuk lapangan futsal. Pertimbangannya praktis. Saya ingin sedikit berolahraga, lalu dalam waktu tersebut, sambil saya titip motor untuk dicuci. Sekali dayung dua tiga pulau terlewati. Waktu bisa dimanfaatkan dengan baik, tanpa harus mengganggu aktivitas yang direncanakan.

Saya memilih olahraga futsal, karena lebih agak ringan. Dengan sesama pemain yang usia yang hampir sama. Bukan dengan yang usia lebih muda. Saya kira olahraga sangat penting, apalagi saat proses alamiah sudah terhambat dengan berbagai keadaan tubuh. Walau tetap ada catatan bahwa olahraga sudah tidak boleh yang berat, mengingat usia yang sudah mulai dekat senja.

Setelah selesai berolahraga, saya mengambil motor. Tentu, sudah dicuci. Pada saat membayar, saya hanya memiliki satu lembar uang Rp 50 ribu. Saya sering menyusahkan orang lain dengan tidak membawa uang yang pas. Uang dengan nominal yang pas tidak selalu tersedia. Saya menyerahkan lembaran itu ke yang mencuci motor saya. Tapi mereka sepertinya tidak memiliki uang kembali. Mereka berusaha menukar di sejumlah tempat, tapi tidak ada.

Lalu saya ambil minta uangnya untuk saya beli yang lain dulu. Hal semacam ini, biasa saya lakukan. Dan selama ini, orang sepertinya percaya. Tapi di tempat itu, saya menerima kata-kata yang menusuk. Tidak bisa, katanya. Nanti takut tidak kembali lagi. Saya harus mengurut dada. Bisa jadi tidak semua orang dapat berkomunikasi dengan baik. Dan yang disampaikan itu juga benar, walau saya selalu bermain futsal di samping tempat cuci motor itu. Saya tentu tidak boleh marah. Kecurigaan itu bisa jadi ia memiliki pengalaman. Hanya saja perlu dikoreksi. Jangan gara-gara ia berpengalaman dengan satu atau beberapa orang, lalu memvonis semua orang lain akan berlaku yang sama.

Saya tidak mau menyalahkan orang lain. Pengalaman semacam ini bisa jadi dipicu ia pernah tertipu. Bisa jadi. Ada orang yang mengambil uang, lalu tidak kembali. Sedangkan ia tidak tahu siapa yang mencuci motor itu. Bisa juga orang yang mencuci motor tidak berasal dari kampung sekitar. Mereka hanya sekali ke sana, lalu melihat ada tempat cuci kendaraan, ia memilihnya karena sedang ada kepentingan sesuatu di sana.

Pengalaman seyogianya tidak membuat kita memicu dan memacu amarah. Keadaan ini harus dipahami. Sebagai proses belajar, orang yang berpengalaman juga harus menata dirinya. Harus memperbaiki komunikasi walau bisa jadi orang lain akan melakukan hal yang sama. Soal jasa sangat penting bagi pemilik usaha. Orang sedang berusaha berlaku baik, ketika kita membutuhkan orang lain untuk menghidupkan usaha kita. Sektor semacam ini, tentu saja antara lain harus terbantu dengan pelayanan –bahkan menggunakan bahasa yang baik. []

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar

  1. Ping-balik: Amarah – kupiluho
Sudah ditampilkan semua